Eksploitasi Nikel Raja Ampat: Urgensi Valuasi Ekonomi dalam Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Gelombang kontroversi melanda Raja Ampat terkait aktivitas pertambangan nikel. Dr. Nimmi Zulbainarni, seorang akademisi dari IPB University, menyoroti bahwa akar permasalahan bukanlah sekadar perizinan, melainkan kurangnya pendekatan kebijakan yang didasarkan pada valuasi ekonomi komprehensif. Penilaian ekonomi yang tepat akan memberikan gambaran jelas mengenai dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat.
Valuasi ekonomi bukan sekadar menghitung keuntungan finansial. Lebih dari itu, valuasi ekonomi merupakan instrumen ilmiah dan normatif untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam setiap pengambilan keputusan. Dengan memperhitungkan nilai penggunaan langsung (seperti perikanan dan pariwisata), nilai tidak langsung (perlindungan pantai dan penyerapan karbon), serta nilai eksistensi Raja Ampat, akan terungkap bahwa nilai ekonomi jangka panjang ekosistem Raja Ampat jauh melampaui keuntungan sesaat dari penambangan nikel.
Alih fungsi lahan di wilayah pesisir Raja Ampat menciptakan paradoks kebijakan yang mencolok. Pemerintah di satu sisi gencar mempromosikan pariwisata berkelanjutan dan ekonomi biru, namun di sisi lain memberikan izin untuk kegiatan ekstraktif di wilayah yang sama. Studi empiris menunjukkan bahwa setiap hektar terumbu karang di Raja Ampat mampu menghasilkan pendapatan miliaran rupiah per tahun melalui pariwisata bahari, perikanan, dan jasa ekosistem lainnya.
Kerusakan terumbu karang, sedimentasi, dan polusi air akibat aktivitas pertambangan mengancam keberlanjutan ekonomi lokal dan integritas ekologis Raja Ampat. Banyak izin tambang dikeluarkan tanpa didahului oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang partisipatif dan kajian valuasi ekonomi yang kredibel.
Dalam konteks kebijakan publik, valuasi ekonomi seharusnya menjadi alat bantu bagi para pengambil keputusan untuk menginternalisasi dampak negatif dari setiap kebijakan. Jika kerusakan lingkungan akibat pertambangan dapat dihitung sebagai biaya nyata, seperti kerugian nelayan, biaya pemulihan terumbu karang, atau penurunan kualitas hidup masyarakat pesisir, maka keputusan untuk melindungi lingkungan akan menjadi lebih rasional secara ekonomi.
Tanpa valuasi ekonomi yang tepat, lingkungan akan terus dianggap sebagai faktor yang dapat dikorbankan demi investasi jangka pendek. Raja Ampat harus dipandang sebagai ekosistem yang hidup dengan nilai intrinsik, sosial, dan ekonomi yang berkelanjutan. Keberadaannya penting bagi masyarakat adat, pelaku pariwisata, dan citra Indonesia sebagai negara yang berkomitmen pada pembangunan hijau.
Konflik ekologis, keresahan masyarakat adat, dan pertanyaan mengenai makna pembangunan berkelanjutan muncul sebagai akibat dari aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Wilayah yang seharusnya dilindungi justru menjadi sasaran eksploitasi, memicu krisis kepercayaan terhadap arah pembangunan nasional. Pembangunan yang hanya berfokus pada akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek mencerminkan kegagalan dalam memahami esensi keberlanjutan.