Sorotan Tajam pada Penyelenggaraan Study Tour: Antara Wisata dan Pendidikan yang Terabaikan

Polemik mengenai kegiatan study tour di kalangan pelajar terus bergulir, memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Di balik hiruk pikuk perjalanan wisata, terungkaplah praktik-praktik yang mencoreng esensi dari kegiatan yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran yang berharga.

Gigih Gesang, Sekretaris Jenderal Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI), menyoroti pentingnya mentransformasi study tour menjadi sebuah program experiential learning yang terstruktur dan bermakna. Menurutnya, selama ini, study tour lebih seringkali hanya menjadi sekadar perjalanan wisata tanpa adanya integrasi pembelajaran yang signifikan.

"Study tour seharusnya menjadi program experiential, bukan hanya sekadar tour tanpa study," tegas Gigih.

Keresahan ini mendorong AELI untuk mengadvokasi Kementerian Pariwisata dan Kementerian Pendidikan agar mengembalikan esensi study tour sebagai bagian integral dari pendidikan. Gigih mencontohkan, kunjungan ke Candi Borobudur seharusnya tidak hanya sebatas melihat-lihat, tetapi juga melibatkan eksplorasi mendalam dan pengalaman yang dirancang secara cermat.

Gigih juga menyoroti permasalahan klasik yang kerap terjadi dalam penyelenggaraan study tour, yaitu praktik-praktik curang yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Ia menyebutkan, banyak kasus di mana bus yang sudah dipesan tidak tersedia, atau hotel belum dibooking meskipun sudah tiba di lokasi. Praktik-praktik ini merugikan peserta study tour dan mencoreng citra industri pariwisata secara keseluruhan.

"Kejadiannya selalu sama. Sudah dibooking, sudah siap berangkat, busnya tidak ada. Sudah datang ke lokasi, hotelnya belum dibooking. Ini terjadi karena pelaku-pelaku nakal," ungkapnya.

Oleh karena itu, Gigih menekankan perlunya tata kelola yang baik dan standar pelaksanaan yang jelas untuk kegiatan study tour. Ia berharap, kolaborasi antara Kementerian Pariwisata dan Kementerian Pendidikan dapat menghasilkan pedoman yang komprehensif, mencakup aspek pemesanan, akomodasi, transportasi, dan program pembelajaran yang terstandardisasi.

"Kami ingin mendorong Kemenpar dan Kemendikbud untuk menetapkan standar pelaksanaan tour yang baik. Booking harus terjamin, hotel harus oke, bus harus aman, dan program pembelajaran harus benar-benar bermakna bagi peserta study tour," pungkas Gigih.

Dengan adanya standar yang jelas dan pengawasan yang ketat, diharapkan kegiatan study tour dapat kembali menjadi sarana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan bagi para siswa. Upaya ini juga diharapkan dapat meminimalisir praktik-praktik curang dan meningkatkan kualitas industri pariwisata secara keseluruhan.