Mantan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Terjerat Kasus Korupsi SPJ Fiktif, Diduga Rugikan Negara Puluhan Miliar Rupiah
Mantan Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) DKI Jakarta periode 2020-2024, Iwan Henry Wardhana, kini menghadapi proses hukum atas dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 36,3 miliar. Dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan keterlibatan Iwan dalam pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) fiktif terkait dengan berbagai kegiatan kebudayaan di ibu kota. Sidang perdana kasus ini telah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Selain Iwan Henry Wardhana, dua terdakwa lain juga turut diseret dalam kasus ini, yakni Mohamad Fairza Maulana, yang pernah menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pemanfaatan dan Kepala Bidang Pemanfaatan di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, serta Gatot Arif Rahmadi, pemilik Event Organizer (EO) Gerai Production (GR PRO). GR PRO sendiri diketahui sebagai pelaksana berbagai kegiatan seni dan budaya yang didanai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk Pergelaran Kesenian Terpilih (PKT), Pergelaran Seni Budaya Berbasis Komunitas (PSBB Komunitas), dan partisipasi dalam Jakarnaval.
Menurut dakwaan yang dibacakan oleh JPU Arif Darmawan, Iwan Henry Wardhana bersama-sama dengan Mohamad Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahmadi diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 36.319.045.056,69. Modus operandi yang digunakan adalah merekayasa bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran untuk kegiatan PSBB Komunitas, PKT, dan Jakarnaval. Rekayasa ini dilakukan dengan cara melebih-lebihkan pengeluaran yang sebenarnya, sehingga terdapat selisih dana yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Lebih lanjut, JPU mengungkapkan bahwa penyimpangan ini bermula dari kegiatan milad Bang Japar. Dalam pelaksanaannya, Gatot Arif Rahmadi bekerja sama dengan Mohamad Fairza Maulana untuk merekayasa bukti-bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran PSBB Komunitas tahun anggaran 2022 hingga 2024. Bukti-bukti fiktif ini digunakan untuk menutupi kelebihan pembayaran yang kemudian diserahkan kepada Iwan Henry Wardhana sebagai bagian dari kesepakatan.
Untuk melancarkan aksinya, Gatot Arif Rahmadi selaku pemilik GR PRO menentukan data sanggar yang akan digunakan dan meminta persetujuan dari Mohamad Fairza Maulana. Selanjutnya, dibuatlah proposal seolah-olah dari pelaku seni atau sanggar, lengkap dengan disposisi dan nota dinas dari Dinas Kebudayaan, surat permohonan dari Dinas Kebudayaan kepada sanggar, surat jawaban kesediaan dari sanggar, surat tugas dari Dinas Kebudayaan kepada pelaku seni atau sanggar, daftar hadir, daftar honorarium, dan bukti foto-foto dokumentasi pelaksanaan kegiatan.
Tidak hanya itu, para terdakwa juga diduga menyusun bukti pembayaran kepada pelaku seni atau sanggar fiktif atau sanggar yang dipinjam identitasnya, serta membuat bukti pembayaran honorarium yang melebihi dari pembayaran yang sebenarnya (markup). Foto-foto dokumentasi yang tidak sesuai dengan pelaksanaan kegiatan juga diedit untuk mendukung bukti pertanggungjawaban fiktif. Bahkan, bukti pembayaran sewa alat peraga kesenian (ondel-ondel) juga dimanipulasi agar tidak sesuai dengan kenyataan.
Modus lainnya adalah dengan menyusun bukti pembayaran berupa kwitansi dan invoice pemesanan nasi kotak, snack, dan air mineral kepada Dulu Kala Catering dan Gerai Catering Jakarta, yang merupakan perusahaan catering milik Gatot Arif Rahmadi. Seolah-olah Dinas Kebudayaan telah membuat pesanan belanja makan dan minuman melalui aplikasi e-order kepada perusahaan katering tersebut. Padahal, Gatot Arif Rahmadi memesan nasi kotak, snack, dan air mineral kepada vendor katering lain dengan nilai pemesanan yang lebih rendah dari nilai pemesanan melalui aplikasi e-order.
Selain itu, para terdakwa juga menyusun bukti pembayaran sewa peralatan acara yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan biaya riil yang dikeluarkan melalui perusahaan peralatan yang dipinjam identitasnya oleh Gatot. Data tersebut kemudian diserahkan ke Dinas Kebudayaan untuk diproses seolah-olah telah mengikuti proses pengadaan langsung dan ditunjuk sebagai pelaksana kegiatan sesuai arahan Mohamad Fairza Maulana.
Penyimpangan juga terjadi pada kegiatan PKT secara swakelola. Mohamad Fairza Maulana memerintahkan AA Rukanda Hadipriana untuk merekayasa bukti-bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran, dengan cara menambahkan komponen tampilan yang sebenarnya tidak digelar (fiktif) dan atau menaikkan pembayaran honorarium pelaku seni yang secara riil melaksanakan pentas melalui markup biaya pembayaran honorarium.
Bukti pendukung lainnya seperti daftar hadir, biodata, dan dokumentasi foto kegiatan agar seolah-olah pelaku seni tampil dalam kegiatan PKT disiapkan oleh staf Bidang Pemanfaatan, sedangkan stempel kuitansi tanda terima menggunakan stempel sanggar palsu. Fairza juga disebut memerintahkan saksi AA Rukanda Hadipriana untuk membuat bukti pertanggungjawaban PKT Dinas Kebudayaan Jakarta secara swakelola atas komponen tampilan yang sebenarnya tidak digelar.
Selisih pembayaran yang dikembalikan oleh pelaku seni dari pelaksanaan dan pertanggungjawaban kegiatan PKT secara swakelola tahun anggaran 2022-2024 digunakan untuk kepentingan pribadi Iwan, Fairza dan Ni Nengah Suartiasih serta pejabat Dinas Kebudayaan lainnya.
Atas perbuatannya, Iwan, Fairza, dan Gatot didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Jaksa juga merinci aliran dana yang dinikmati para terdakwa dan pihak lain dalam kasus ini, dengan rincian sebagai berikut:
- Iwan Henry Wardhana: Rp 16.200.000.000
- Mohamad Fairza Maulana: Rp 1.441.500.000
- Gatot Arif Rahmadi: Rp 13.520.345.212,69
- Imam Hadi Purnomo: Rp 150.000.000
- Cucu Rita Sary: Rp 150.000.000
- Moch. Nurdin: Rp 300.000.000
- Tonny Bako: Rp 50.000.000
- Feni Medina: Rp 100.000.000
- Ni Nengah Suartiasih: Rp 100.000.000
- Penggunaan untuk uang tahun baru, THR, acara munggahan, kegiatan refreshing, uang saku dan pembelian bunga staf/pegawai di Bidang Pemanfaatan: Rp 4.307.199.844
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, terutama dalam sektor kebudayaan.