Rancangan Peraturan Daerah KTR Jakarta: Dilema Ekonomi dan Kesehatan

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang tengah digodok di DKI Jakarta menuai sorotan dari berbagai pihak. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan kekhawatiran bahwa aturan ini dapat berimbas pada perekonomian masyarakat kecil.

Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N. Suparman, mencontohkan pengalaman di Bali, dimana Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI) mengalami penurunan omzet signifikan sejak pemberlakuan KTR. Menurutnya, penjualan rokok sebelumnya menyumbang 10-20% dari total pendapatan mereka.

"Sebelum diberlakukannya KTR, omzet hasil penjualan rokok cukup besar, mencapai 10-20 persen dari total omzet," kata Herman.

Di sisi lain, Herman mengakui bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki kontribusi yang tidak bisa diabaikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya di daerah-daerah penghasil tembakau. IHT juga memberikan mata pencaharian bagi jutaan orang, mulai dari petani hingga distributor.

"IHT pun memberikan dampak ekonomi langsung bagi lebih dari enam juta orang pada tahun 2020, termasuk petani, pekerja manufaktur, dan distributor," jelasnya.

Produk tembakau dan rokok, meskipun legal, juga menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan. Pada tahun 2023, kontribusinya mencapai lebih dari Rp 213 triliun, atau sekitar 8% dari total penerimaan negara.

Penguatan Aturan KTR di Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri telah mengusulkan penguatan aturan KTR melalui Raperda ini. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyampaikan usulan ini dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta pada bulan Mei lalu.

Raperda ini tidak hanya memperluas cakupan KTR, tetapi juga menetapkan sanksi yang lebih tegas bagi para pelanggar. Salah satunya adalah denda hingga Rp50 juta bagi pihak yang mengiklankan rokok di kawasan yang telah ditetapkan sebagai KTR.

Jakarta sebenarnya sudah memiliki aturan KTR yang tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 75 Tahun 2005 dan diperbarui melalui Pergub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Namun, dengan perubahan status dari Pergub menjadi Perda, aturan KTR di Jakarta akan memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.

Dilema yang Kompleks

Raperda KTR ini memunculkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya asap rokok. Di sisi lain, ada pertimbangan ekonomi, terutama bagi masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya pada penjualan rokok, serta kontribusi IHT terhadap PAD dan lapangan kerja.

Pemerintah DKI Jakarta perlu mempertimbangkan dengan matang dampak dari Raperda ini, serta mencari solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.