Meta Menginvestasikan Dana Besar untuk Proyek Superintelligence, Mengungguli Kompetitor di Era AI?

Meta Pacu Pengembangan Superintelligence dengan Investasi Raksasa

Meta, perusahaan induk dari raksasa media sosial seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp, dilaporkan tengah berupaya keras untuk mengejar ketertinggalan dalam perlombaan pengembangan kecerdasan buatan (AI). Langkah ini diindikasikan dengan alokasi investasi yang sangat signifikan, mencapai 15 miliar dollar AS atau sekitar Rp 244 triliun, untuk proyek ambisius bernama Superintelligence.

Investasi besar ini kabarnya akan diwujudkan melalui akuisisi sebagian saham Scale AI, sebuah startup AI terkemuka yang berbasis di Amerika Serikat. Scale AI didirikan oleh Alexandr Wang dan Lucy Guo. Wang sendiri dilaporkan akan bergabung dengan Meta dalam posisi senior, mengisyaratkan bahwa keterlibatan Meta dalam Scale AI bukan sekadar investasi pasif, melainkan bagian integral dari strategi jangka panjang untuk membentuk ulang arah pengembangan AI Meta.

Meski baik Meta maupun Scale AI belum memberikan pernyataan resmi terkait kabar investasi ini, proyek Superintelligence ini tergolong sangat ambisius. Ambisi ini dikarenakan proyek ini menargetkan penciptaan AI yang melampaui tingkat kecerdasan AI yang ada saat ini.

Memahami Konsep Superintelligence

Secara umum, AI dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan berdasarkan kecerdasan dan kemampuannya:

  • Artificial Narrow Intelligence (ANI): Dikenal juga sebagai AI "Lemah", ANI dirancang untuk menjalankan tugas-tugas spesifik dan terbatas. Contohnya termasuk asisten virtual seperti Google Assistant dan Siri, sistem penerjemah bahasa, pengenalan gambar, dan algoritma rekomendasi.
  • Artificial General Intelligence (AGI): AGI memiliki kemampuan untuk menjalankan berbagai tugas umum dan memiliki kemampuan belajar layaknya manusia. Robot pintar yang dapat berinteraksi dengan manusia dan menjalankan berbagai perintah termasuk dalam kategori ini.
  • Artificial Superintelligence (ASI): ASI adalah tingkat kecerdasan tertinggi dalam AI, melampaui kecerdasan manusia dalam segala aspek. Konsep ini mencakup kesadaran, kemampuan berpikir mandiri, pengambilan keputusan, dan tindakan tanpa memerlukan perintah eksternal.

Perbedaan mendasar antara Superintelligence dengan jenis AI lainnya terletak pada aspek kesadaran. Jika ANI dan AGI masih beroperasi berdasarkan perintah dan algoritma yang diprogram, Superintelligence diharapkan memiliki kesadaran untuk berpikir, mengambil keputusan, dan bertindak secara independen. Dengan kata lain, Superintelligence tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memahami, beradaptasi, dan bahkan berkreasi.

Saat ini, Superintelligence masih merupakan konsep teoretis. Para ahli menegaskan bahwa teknologi semacam itu belum terwujud dan masih jauh dari kenyataan. Bahkan, AI yang ada saat ini pun masih menghadapi tantangan dalam menyelesaikan tugas-tugas sederhana. Oleh karena itu, rencana pengembangan Superintelligence oleh Meta dan Scale AI dianggap sebagai langkah yang sangat ambisius.

Kebangkitan Meta di Arena AI

Inisiatif Superintelligence ini dapat dilihat sebagai upaya Meta untuk bangkit kembali setelah kegagalan proyek Metaverse. Metaverse, yang merupakan proyek dunia digital dengan integrasi VR dan AR, gagal menarik minat pasar meskipun investasi yang besar telah digelontorkan. Setelah kegagalan tersebut, Meta mengalihkan fokusnya ke pengembangan AI, yang sebenarnya telah menjadi area investasi perusahaan selama lebih dari satu dekade.

Mark Zuckerberg, CEO Meta, mendirikan lab AI khusus pertama perusahaan pada tahun 2013, setelah kalah dari Google dalam upaya mengakuisisi DeepMind, yang kini menjadi inti pengembangan Gemini, teknologi AI dari Google. Pada awal tahun ini, Meta mengalokasikan anggaran hingga 65 miliar dollar AS untuk membangun infrastruktur kecerdasan buatan. Zuckerberg juga menyatakan bahwa tahun 2025 akan menjadi tahun krusial dalam pengembangan AI Meta.