Transformasi Sistem Rawat Inap: Implementasi KRIS dalam Jaminan Kesehatan Nasional
Transformasi Sistem Rawat Inap: Implementasi KRIS dalam Jaminan Kesehatan Nasional
Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia tengah menghadapi perubahan signifikan dengan implementasi Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di rumah sakit. Awalnya dijadwalkan untuk implementasi penuh pada Juli 2025, pemerintah telah memutuskan untuk menunda pelaksanaannya hingga akhir Desember 2025. KRIS merupakan langkah strategis untuk mewujudkan kesetaraan akses layanan kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kebijakan KRIS dirancang untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 bagi peserta BPJS Kesehatan/JKN. Dengan KRIS, seluruh pasien peserta JKN, tanpa memandang kelas iuran yang dibayarkan, akan menerima fasilitas rawat inap dengan standar pelayanan yang setara. Langkah ini mencerminkan prinsip keadilan, di mana pelayanan diberikan berdasarkan kebutuhan medis, bukan kemampuan finansial pasien.
KRIS bertujuan untuk menghilangkan perbedaan standar fasilitas yang selama ini ada dalam sistem rawat inap di rumah sakit. Sebelumnya, pasien kelas 3 seringkali ditempatkan di ruangan yang penuh sesak dan kurang memadai, sementara pasien kelas 1 menikmati fasilitas yang lebih baik. Perbedaan ini menjadi salah satu masalah utama dalam sistem JKN selama satu dekade terakhir.
Diharapkan dengan KRIS, tidak akan ada lagi perbedaan signifikan dalam fasilitas dan kualitas layanan. Semua pasien akan mendapatkan ruangan yang memenuhi standar, dengan maksimal empat tempat tidur per ruangan, ventilasi dan pencahayaan yang memadai, suhu ruangan yang terkendali, tirai pembatas antar pasien, dan akses ke toilet dalam ruangan yang nyaman.
Transformasi ini membawa dampak sistemik yang signifikan. Dari sisi rumah sakit, implementasi KRIS memerlukan penyesuaian fasilitas sesuai dengan standar yang ditetapkan. Rumah sakit perlu melakukan renovasi atau membangun ruangan rawat inap yang memenuhi 12 standar minimum yang ditetapkan. Hal ini memerlukan anggaran, waktu, dan sumber daya manusia yang besar.
Dari sisi tenaga kesehatan, KRIS dapat mengubah beban kerja dan pola pelayanan. Ruangan rawat inap yang lebih nyaman dan tidak terlalu padat dapat meningkatkan efektivitas pelayanan serta memperbaiki pengalaman pasien dan keluarga. Namun, jika jumlah tempat tidur dikurangi untuk memenuhi standar, antrean pasien dapat meningkat jika tidak diimbangi dengan penambahan kapasitas rumah sakit. Penurunan aksesibilitas akan merugikan masyarakat.
Bagi peserta JKN, perubahan ini akan memengaruhi persepsi dan harapan mereka. Peserta yang sebelumnya membayar lebih untuk kelas 1 dan 2 mungkin mempertanyakan keadilan jika kini mendapatkan layanan yang setara dengan peserta kelas 3. Meskipun KRIS membawa semangat gotong royong dan kesetaraan, kesiapan infrastruktur rumah sakit, terutama di daerah, menjadi tantangan utama.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa dari sekitar 2544 rumah sakit, baru 57,28 persen atau 1.436 rumah sakit yang telah memenuhi kriteria KRIS. Sejumlah rumah sakit masih perlu melakukan perbaikan signifikan untuk memenuhi standar yang ditetapkan. Kementerian Kesehatan mengusulkan penundaan implementasi KRIS hingga akhir Desember 2025 untuk memberikan waktu bagi rumah sakit untuk mempersiapkan diri.
Renovasi harus segera dilakukan untuk menyesuaikan ruang rawat inap, terutama di rumah sakit tipe C dan D di daerah-daerah terpencil. Keterbatasan anggaran, sumber daya manusia yang kompeten, dan ketersediaan sarana prasarana membuat implementasi KRIS menjadi sulit di daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan. Dukungan pemerintah pusat sangat penting untuk mengatasi tantangan ini.
Penundaan implementasi memberikan kesempatan bagi rumah sakit untuk mempersiapkan diri lebih lanjut. Skema pendanaan yang memadai dan dukungan teknis sangat dibutuhkan agar rumah sakit tidak melakukan penyesuaian seadanya yang dapat merugikan kualitas layanan. KRIS memiliki implikasi finansial yang kompleks. Dari sisi BPJS Kesehatan, standar layanan yang seragam dapat mendorong efisiensi pembayaran klaim.
Namun, dari sisi rumah sakit, standar minimum dapat meningkatkan biaya operasional, terutama jika tidak ada penyesuaian tarif dan iuran peserta. Koordinasi yang baik antara Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan manajemen rumah sakit diperlukan untuk menyesuaikan tarif INA-CBG’s agar sejalan dengan peningkatan standar. Jika tidak, rumah sakit dapat mengalami defisit yang mengkhawatirkan.
KRIS merupakan langkah awal menuju sistem rawat inap yang lebih berkeadilan. Keberhasilannya memerlukan pendekatan bertahap dan berbasis data. Pemerintah harus menetapkan indikator capaian yang realistis dan memastikan rumah sakit memiliki waktu dan sumber daya yang cukup untuk beradaptasi. Fleksibilitas kebijakan berdasarkan konteks daerah juga penting.
Rumah sakit yang sudah siap dapat diberikan insentif untuk menjadi model percontohan, sementara rumah sakit yang belum siap perlu mendapatkan pendampingan dan penyesuaian jadwal implementasi. Komunikasi publik yang berkelanjutan diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada pasien bahwa KRIS bukanlah penurunan layanan, melainkan penghapusan perbedaan fasilitas kelas.
Dengan informasi yang transparan dan berbasis bukti, kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan kesehatan dapat meningkat. Implementasi KRIS adalah pekerjaan besar yang memerlukan perhitungan yang cermat. Jika dilaksanakan dengan baik, KRIS dapat menjadi tonggak penting dalam transformasi kesehatan Indonesia.