Wali Nanggroe Aceh Sampaikan Aspirasi Legalisasi Bendera Aceh kepada Jusuf Kalla

Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, baru-baru ini bertemu dengan mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Aceh terkait pengesahan bendera Aceh. Pertemuan tersebut berlangsung setelah pemerintah secara resmi menetapkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek sebagai bagian dari wilayah Aceh.

Malik Mahmud mengungkapkan bahwa masyarakat Aceh masih menaruh harapan besar agar bendera Aceh dapat segera disahkan secara legal. Ia menekankan bahwa legalitas bendera Aceh masih menjadi isu yang belum terselesaikan, meskipun bendera tersebut merupakan salah satu poin penting dalam Perjanjian Helsinki yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

"Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja," ujar Malik Mahmud usai pertemuannya dengan Jusuf Kalla.

Di sisi lain, Malik Mahmud juga menyampaikan rasa syukur atas penyelesaian sengketa terkait empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara. Ia mengapresiasi langkah pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini.

"Saya sebagai Wali Nanggroe Aceh mengucapkan Alhamdulillah, syukur Alhamdulillah di atas sudah selesainya masalah polemik empat pulau yang berlaku baru-baru ini dan dengan ini saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Presiden, kepada petinggi-petinggi kita yang menyelesaikan masalahnya, termasuk juga Pak Mendagri," kata Malik.

Bendera Aceh memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Simbol-simbol yang terdapat pada bendera tersebut mencerminkan sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Aceh.

Sebagai informasi, berikut adalah makna dari simbol-simbol pada bendera Aceh sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013:

  • Dasar warna merah: Melambangkan jiwa keberanian dan kepahlawanan.
  • Garis warna putih: Melambangkan perjuangan suci.
  • Garis warna hitam: Melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh.
  • Bulan sabit berwarna putih: Melambangkan lindungan cahaya iman.
  • Bintang bersudut lima berwarna putih: Melambangkan rukun Islam.

Penggunaan simbol-simbol wilayah seperti bendera, lambang, dan himne merupakan hak bagi Aceh, sebagaimana tercantum dalam poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Perjanjian Helsinki sendiri merupakan kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya terlibat konflik sejak tahun 1976. Tindak lanjut dari Perjanjian Helsinki adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Pasal 246 ayat (2) UU 11/2006 mengatur bahwa Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. Namun, Pasal 246 ayat (3) UU 11/2006 menegaskan bahwa bendera daerah Aceh bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh.

Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh menjelaskan lebih rinci mengenai bentuk dan makna bendera Aceh. Pasal 4 ayat (1) Qanun tersebut menyatakan bahwa bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 dari panjang, memiliki dua garis lurus putih di bagian atas dan bawah, satu garis hitam di bagian atas dan bawah, serta gambar bulan bintang di bagian tengah dengan warna dasar merah, putih, dan hitam.