Jusuf Kalla Soroti Pentingnya Pemahaman Sejarah dan Hukum dalam Pengambilan Keputusan Pemerintah Guna Hindari Konflik Wilayah
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menekankan urgensi pemahaman mendalam terhadap sejarah dan landasan hukum sebelum pemerintah mengambil kebijakan. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap potensi sengketa wilayah yang dapat timbul akibat kurangnya pertimbangan aspek historis dan yuridis.
Kalla mencontohkan kasus sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara yang baru-baru ini mencuat. Menurutnya, insiden ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah pusat untuk lebih berhati-hati dan cermat dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak pada batas wilayah administratif. Ia menyoroti pentingnya merujuk pada perjanjian-perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, serta undang-undang yang relevan, guna menghindari interpretasi yang berbeda dan potensi konflik di kemudian hari.
"Ini menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah. Sebelum melangkah dan mengambil tindakan, pemahaman yang komprehensif tentang sejarah dan undang-undang adalah krusial. Jika tidak, hal ini dapat memicu masalah besar bagi kita semua," ujar Kalla di kediamannya, Jakarta, pada Selasa (17/6/2025).
Kalla secara khusus menyinggung Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang mengatur pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan perubahan peraturan pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Ia menekankan bahwa Perjanjian Helsinki mengamanatkan perlunya konsultasi dan diskusi dengan Pemerintah Aceh dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Menurut Kalla, sengketa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek muncul karena Pemerintah Pusat dinilai tidak melibatkan Pemerintah Aceh dalam proses penerbitan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
"Sudah jelas bahwa setiap keputusan pemerintah yang berkaitan dengan Aceh harus melalui sepengetahuan, konsultasi, dan persetujuan Pemerintah Aceh. Namun, dalam kasus polemik empat pulau ini, hal tersebut tidak dilakukan," tegas Kalla.
Ia menambahkan bahwa sengketa wilayah yang melibatkan Aceh ini merupakan yang pertama kali terjadi dalam 20 tahun terakhir, sejak perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) disepakati. Kalla mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo Subianto dalam meredam potensi ketegangan antara Aceh dan Sumatera Utara.
"Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden, Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Ketua DPR, Bapak Dasco, yang telah memimpin pertemuan ini. Tentu mereka memiliki pandangan yang baik dalam menyelesaikan masalah ini," kata Kalla.
Respon Pemerintah Daerah
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyambut baik keputusan Presiden Prabowo yang mengembalikan keempat pulau tersebut ke wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Ia menegaskan bahwa yang terpenting adalah status pulau-pulau tersebut tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Yang terpenting, pulau-pulau tersebut tetap menjadi bagian dari NKRI. Itu adalah mimpi kita semua. Semoga tidak ada lagi permasalahan dan tercipta kedamaian antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara," ujar Muzakir.
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, juga menerima keputusan tersebut dan mengimbau masyarakat Sumatera Utara untuk menghormati keputusan yang telah diambil. Ia meminta agar masyarakat tidak terpancing oleh provokasi yang dapat memicu perseteruan antarwilayah.
"Saya mengimbau seluruh masyarakat Sumatera Utara untuk mengingat bahwa Aceh adalah wilayah yang bertetangga dengan kita. Jangan mudah terhasut oleh isu-isu yang tidak benar. Apabila ada laporan yang merugikan masyarakat Aceh, saya sebagai Gubernur Sumatera Utara akan menghentikannya," tegas Bobby.