Penundaan Cukai Minuman Berpemanis: Target Penerimaan Negara Terancam?

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara resmi menunda penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) hingga waktu yang belum ditentukan. Keputusan ini diumumkan di tengah upaya pemerintah untuk mencapai target penerimaan negara yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penundaan ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pemerintah akan menutupi potensi kehilangan pendapatan yang sebelumnya diharapkan dari cukai MBDK.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Djaka Budi Utama, menyampaikan bahwa penerapan cukai MBDK kemungkinan tidak akan dilaksanakan hingga tahun 2025. Meskipun demikian, ia tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan ini akan dipertimbangkan kembali di masa depan, terutama di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Djaka tidak memberikan penjelasan rinci mengenai alasan penundaan ini, namun menekankan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan perekonomian sebelum memutuskan untuk memberlakukan cukai MBDK.

Penundaan cukai MBDK menjadi tantangan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang ditargetkan untuk mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 301,6 triliun tahun ini. Untuk mencapai target tersebut, Bea Cukai akan mengoptimalkan penerimaan dari sektor lain. Djaka mengharapkan dukungan dari semua pihak agar Bea Cukai dapat memenuhi target yang telah ditetapkan, meskipun tanpa adanya kontribusi dari cukai MBDK.

Sebagai informasi, hingga akhir Mei 2025, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp 122,9 triliun, atau 40,7% dari target APBN. Angka ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 12,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penerimaan tersebut berasal dari berbagai sumber, termasuk bea masuk sebesar Rp 19,6 triliun, bea keluar sebesar Rp 13 triliun, dan cukai sebesar Rp 90,3 triliun.

Wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis sebenarnya telah bergulir sejak lama. Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, telah mengusulkan kebijakan ini sejak tahun 2020. Sri Mulyani menjelaskan bahwa pengenaan cukai pada minuman berpemanis bertujuan untuk mengendalikan konsumsi minuman yang dianggap berbahaya bagi kesehatan. Ia mengusulkan tarif cukai yang bervariasi untuk berbagai jenis minuman berpemanis, seperti:

  • Teh kemasan: Rp 1.500 per liter
  • Minuman berkarbonasi: Rp 2.500 per liter
  • Minuman berpemanis lainnya (energy drink, kopi, konsentrat, dll.): Rp 2.500 per liter

Berdasarkan perhitungan Sri Mulyani pada saat itu, potensi penerimaan negara dari cukai minuman berpemanis bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Namun, hingga saat ini, rencana tersebut belum dapat direalisasikan dan kembali ditunda pelaksanaannya.