Mahasiswi Uniasman Bone Terpaksa Berhenti Kuliah, Diduga Jadi Korban Penyelewengan Dana Beasiswa

Kisah pilu menimpa AS, seorang mahasiswi Universitas Andi Sudirman (Uniasman) asal Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Impiannya untuk meraih gelar sarjana terpaksa kandas di tengah jalan akibat dugaan penyelewengan dana beasiswa yang seharusnya menjadi penopang pendidikannya.

AS, yang mengambil jurusan Biologi angkatan 2024, memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan sejak awal tahun 2025. Kini, ia harus bekerja keras dengan penghasilan minim untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Keputusan pahit ini diambil setelah AS merasa tidak pernah menerima dana beasiswa yang dijanjikan oleh oknum dosen.

Menurut penuturan AS, saat pertama kali masuk kuliah pada tahun 2024, ia mendapatkan tawaran beasiswa penuh dari Kepala Program Studi (Kaprodi) Biologi, Ainun. Beasiswa tersebut dijanjikan akan menanggung seluruh biaya kuliahnya hingga wisuda. Namun, kenyataannya jauh berbeda dari yang diharapkan.

Sejak awal perkuliahan, AS sudah harus mengeluarkan biaya pribadi untuk berbagai keperluan administrasi, seperti pembelian materai, fotokopi, buku, dan seragam laboratorium. Ia terpaksa menggunakan uang orang tuanya karena dana beasiswa tak kunjung cair.

Pada Januari 2025, AS dipanggil ke kampus untuk menerima buku rekening beasiswa. Namun, alih-alih menerima dana, ia justru diminta untuk membeli seragam khusus penerima beasiswa seharga Rp 100.000. Setelah itu, AS menyerahkan KTP dan buku rekeningnya kepada Kaprodi.

Dua minggu kemudian, AS diajak ke salah satu bank oleh dosennya. Di sana, dosen tersebut diduga mengatur proses pencairan dana. AS mengaku tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah dana yang dicairkan dan ke mana dana tersebut dialokasikan.

Setelah berhenti kuliah, masalah AS tidak lantas selesai. Ainun, dosen yang menjanjikan beasiswa, justru terus menghubunginya dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 4,8 juta karena AS tidak melanjutkan kuliah. AS merasa bingung dan tertekan karena tidak tahu dari mana ia harus mendapatkan uang sebanyak itu.

Bahkan, saat semester dua dimulai, Ainun masih terus mencari AS dan mendatangi tempat kerjanya. Ia memaksa AS untuk ikut ke kampus, namun justru dibawa ke bank. Di bank, KTP dan buku rekening AS diserahkan kepada satpam oleh Ainun.

AS juga mengungkapkan bahwa saat berada di bank, ia didampingi oleh dua orang dosen, termasuk seorang dosen bernama Ian. Dosen Ian bahkan ikut masuk hingga ke Customer Service bank. Saat pihak bank meminta data pribadi, Ian justru yang mengisi data seperti PIN dan email, bukan AS.

AS sama sekali tidak pernah menerima beasiswa yang dijanjikan sebesar Rp 4,8 juta. Ia merasa tertekan karena gajinya yang hanya Rp 700.000 per bulan hendak dipotong untuk membayar "utang" beasiswa. Namun, atasannya di tempat kerja menolak pemotongan gaji tersebut karena bukan rekening resmi kampus.

Pada Mei 2025, Ainun datang pagi-pagi ke rumah AS, membangunkannya, dan memintanya untuk menandatangani surat pengunduran diri. Setelah menandatangani surat tersebut, Ainun mengembalikan buku rekening, KTP, dan ATM AS. Ainun menyatakan bahwa masalah telah selesai.

Namun, setelah menceritakan kejadian tersebut kepada atasannya di tempat kerja, AS disarankan untuk melaporkan kasus ini ke polisi. AS telah melaporkan kasus ini ke Polsek Tanete Riattang pada bulan Mei lalu.

Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak kampus maupun dosen yang bersangkutan terkait kasus ini.