Di Balik Gemerlap Jakarta: Kisah Suharti dan Gigihnya Warga Muara Angke Bertahan Hidup

Muara Angke, sebuah kawasan di Jakarta Utara, menyimpan kisah tentang ketangguhan dan perjuangan hidup. Di antara rumah-rumah panggung yang berdiri di atas perairan, tepatnya di Blok Empang Kerang Hijau, RT 06, RW 22, Pluit, terdapat profesi yang menjadi tumpuan hidup banyak warganya: pengupas kerang.

Profesi ini banyak ditekuni oleh berbagai kalangan usia, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, hingga anak-anak. Dominasi nelayan kerang hijau di Teluk Jakarta menjadi alasan utama mengapa profesi ini begitu populer di kawasan tersebut. Salah satunya adalah Suharti, seorang wanita berusia 46 tahun yang menjadi pengupas kerang setelah ditinggal suaminya.

"Saya suami udah enggak ada, saya janda. Anak saya dua, cucu tiga," ujarnya. Dengan dua anak dan tiga cucu yang menjadi tanggungannya, Suharti memilih untuk mengupas kerang agar tidak membebani anak-anaknya. Setiap hari, ia bekerja mulai pukul 10.00 hingga 17.00 WIB. Upah yang ia terima sangat bergantung pada hasil tangkapan nelayan dan jumlah kerang yang berhasil dikupas. Dalam sehari, Suharti mampu mengupas hingga dua drum kerang hijau, dengan upah sekitar Rp 80.000. Meskipun pendapatan pas-pasan, ia tetap bersyukur dan menjalani pekerjaannya dengan ikhlas.

"Daripada enggak ada kerjaan lain, ya, udah aja jadi pengupas kerang, bisa dapat uang buat makan hari-hari," ungkapnya.

Selain masalah pendapatan, Suharti dan warga Muara Angke juga harus menghadapi masalah banjir rob. Dulu, hampir setiap malam air rob masuk ke rumahnya, bahkan pernah merendamnya saat ia sedang tidur. "Saya waktu itu lagi tidur di rumah, kaya kok basah enggak tahunya udah tidur di air," kenangnya. Ketinggian air rob bisa mencapai satu meter.

Namun, kini kondisi tempat tinggal Suharti dan warga lainnya sudah jauh lebih baik. Pada tahun 2024, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) bekerja sama dengan Universitas Pertahanan (Unhan) membangun sekitar 200 rumah panggung di Blok Empang. Program ini merupakan salah satu upaya mitigasi banjir rob, mengingat pembangunan tanggul laut atau Giant Sea Wall belum terealisasi.

Rumah panggung setinggi dua meter ini memberikan perlindungan bagi warga dari banjir rob. Kemenhan juga membangun rumah dengan fasilitas yang memadai, seperti satu kamar tidur, ruang tengah yang sekaligus berfungsi sebagai dapur minimalis, kamar mandi, dan balkon depan.

Suharti dan warga lainnya telah tinggal di rumah panggung ini selama hampir satu tahun. Mereka merasa jauh lebih nyaman dan aman dari banjir. "Lebih nyaman karena terbebas dari banjir. Meski setiap malam tetap banjir, kadang ketinggian airnya gede bisa satu meter," kata Suharti.

Warga lain bernama Sukeni (60) juga merasakan hal yang sama. "Hampir satu tahun tinggal di sini. Nyaman karena enggak banjir lagi," ujarnya. Sukeni juga bersyukur karena Kemenhan telah melengkapi rumah panggung dengan perabotan, seperti kasur, meja belajar, peralatan dapur, toren air, dan lain sebagainya.

Kisah Suharti dan warga Muara Angke adalah cerminan dari semangat pantang menyerah dan kemampuan beradaptasi di tengah keterbatasan. Mereka terus berjuang untuk mencari nafkah dan meningkatkan kualitas hidup, meski harus menghadapi berbagai tantangan.

Kisah mereka adalah bagian dari denyut nadi Jakarta, sebuah kota yang menyimpan jutaan cerita tentang harapan dan perjuangan.