Integritas Hakim: Lebih dari Sekadar Gaji dalam Pemberantasan Korupsi

Korupsi di kalangan hakim seringkali memicu respons cepat berupa usulan kenaikan gaji. Argumennya sederhana: hakim yang sejahtera tidak akan tergoda suap. Namun, pendekatan ini terlalu menyederhanakan masalah kompleks korupsi yudisial yang berakar pada kerakusan dan keserakahan manusia.

Logika yang mendasari wacana kenaikan gaji sebagai solusi antikorupsi adalah homo economicus, yang memandang manusia sebagai makhluk rasional yang bertindak berdasarkan kalkulasi untung-rugi. Semakin tinggi insentif legal (gaji dan tunjangan), semakin kecil kemungkinan mencari keuntungan ilegal. Akan tetapi, teori ini kurang tepat diterapkan pada profesi kehakiman. Bukti empiris menunjukkan bahwa gaji besar tidak menjamin hilangnya niat korupsi. Hakim dengan tunjangan memadai pun masih terjerat suap.

Akar masalah korupsi dalam lembaga kehakiman tidak hanya soal kesejahteraan, tetapi juga lemahnya integritas pribadi, budaya organisasi yang buruk, pengawasan yang lemah, serta kurangnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama. Solusinya terletak pada perbaikan sistem seleksi, pendidikan etik berkelanjutan, penguatan pengawasan, dan keteladanan internal.

Integritas tidak dibangun hanya dengan gaji, melainkan melalui pembinaan moral dan disiplin yang terus-menerus. Pendekatan religius-spiritual juga penting dalam membina profesi hakim. Hakim tidak hanya berurusan dengan hukum positif, tetapi juga memikul tanggung jawab spiritual terhadap kebenaran yang lebih tinggi. Dalam banyak tradisi keagamaan, hakim dipandang sebagai "wakil Tuhan" dalam memutus perkara.

Dalam Islam, seorang qadhi (hakim) akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan atas setiap putusannya. Kesadaran ini, jika tertanam kuat, akan memperkuat motivasi etik dengan dimensi iman dan ketakwaan. Hakim akan merasa diawasi tidak hanya oleh lembaga atau publik, tetapi juga oleh hati nuraninya yang terhubung dengan nilai ilahiah. Pendidikan karakter berbasis religiusitas inklusif berperan penting dalam membentuk watak moral yang utuh.

Gaji dan fasilitas memang penting untuk menjamin independensi dan profesionalitas hakim. Namun, menjadikan gaji sebagai satu-satunya benteng antikorupsi adalah kegagalan memahami karakter moral-profetik lembaga peradilan. Korupsi bukan hanya soal isi dompet, tetapi juga soal isi hati, akhlak, dan moralitas.

Dalam negara hukum yang demokratis, hakim adalah benteng terakhir keadilan. Ia bukan hanya pelaksana hukum, tetapi juga penafsir nilai dan penjaga akal sehat negara. Tanggung jawab besar ini tidak cukup dipikul oleh gaji, melainkan oleh integritas, etika, dan kesadaran spiritual yang mendalam dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.