PB SEMMI Ajukan Revisi RUU KUHAP: Penghapusan Pengecualian Restorative Justice untuk Penghinaan Presiden

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (PB SEMMI) menyampaikan sejumlah usulan terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu poin utama yang disoroti adalah pasal 77 mengenai restorative justice (RJ).

Gurun Ali Sastra, perwakilan dari PB SEMMI, mengusulkan agar tindak pidana yang berkaitan dengan penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden tidak lagi menjadi pengecualian dalam penerapan restorative justice. Menurut Gurun, apabila pelaku telah menyampaikan permohonan maaf, proses hukum sebaiknya tidak perlu dilanjutkan. Usulan ini didasarkan pada prinsip ultimum remedium, yang menekankan bahwa hukum pidana seharusnya menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum.

"Kami mengajukan penerimaan RUU ini dengan catatan adanya perbaikan pada huruf a, terkait frasa martabat presiden dan wakil presiden. Kami mohon agar frasa tersebut dihapuskan," tegas Gurun dalam RDPU yang berlangsung di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (18/6/2025).

Selain isu restorative justice, PB SEMMI juga mengusulkan rumusan ulang untuk pasal 16 huruf e dan f. Pasal-pasal ini mengatur tentang penyamaran dan pembelian terselubung dalam proses penyelidikan. PB SEMMI berpendapat bahwa kewenangan melakukan penyamaran seharusnya dibatasi hanya untuk tindak pidana yang terorganisasi, seperti terorisme dan pengungkapan jaringan narkoba.

Gurun menjelaskan bahwa kewenangan penyamaran dalam tahap penyelidikan, sebelum ditemukannya bukti yang cukup atas tindak pidana, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Ia berpendapat bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan asas legalitas dan praduga tak bersalah yang menjadi prinsip dasar hukum pidana.

"Pasal 16 ayat 1 huruf e menimbulkan kekhawatiran serius terhadap penyalahgunaan wewenang di tahap penyelidikan," ujarnya.

Oleh karena itu, PB SEMMI mengusulkan agar rumusan pasal tersebut diubah dan dipersempit cakupannya hanya untuk kejahatan terorganisir berat, seperti terorisme dan upaya pengungkapan bandar narkoba.

PB SEMMI menyoroti bahwa praktik penyamaran dalam tingkat penyelidikan saat ini seringkali diterapkan pada tindak pidana dengan skala kecil. Mereka berpendapat bahwa penyamaran seharusnya difokuskan pada pengungkapan kasus-kasus besar yang berdampak luas bagi masyarakat, seperti jaringan narkoba dan terorisme.

Usulan-usulan yang diajukan oleh PB SEMMI ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Komisi III DPR RI dalam pembahasan RUU KUHAP. Tujuannya adalah untuk menciptakan KUHAP yang lebih adil, proporsional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.