RUU KUHAP: Universitas Trisakti Dorong Izin Pengadilan untuk Upaya Jemput Paksa
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus menjadi sorotan publik, terutama terkait dengan upaya paksa dalam proses penyidikan. Kalangan akademisi dari Universitas Trisakti baru-baru ini menyampaikan usulan penting yang bertujuan untuk memperketat prosedur penjemputan paksa oleh penyidik.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Relasi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Trisakti, Wildan Arif Husen, mengusulkan agar penjemputan paksa terhadap tersangka atau saksi hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin tertulis dari pengadilan. Usulan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan potensi tindakan represif dari penyidik yang dapat melanggar hak-hak individu.
Wildan menjelaskan bahwa usulan ini difokuskan pada Pasal 30 RUU KUHAP. Pihaknya mengusulkan penambahan ayat yang mengatur bahwa dalam hal tersangka atau saksi menghindar dari pemeriksaan, penyidik tidak serta merta dapat langsung mendatangi kediaman yang bersangkutan tanpa melalui proses pemanggilan yang patut. Lebih lanjut, LKBH Universitas Trisakti menekankan pentingnya mempertimbangkan prinsip-prinsip perlindungan saksi dan korban dalam setiap tindakan penyidikan, termasuk penggeledahan, penyitaan, dan upaya paksa lainnya.
Menurut Wildan, penjemputan paksa harus selaras dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Izin dari pengadilan dianggap sebagai syarat formil yang krusial untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam proses penyidikan. Usulan ini juga mencakup penegasan bahwa tindakan pengumpulan alat bukti yang berpotensi berdampak pada hak privasi atau keselamatan saksi dan korban harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip perlindungan saksi.
Universitas Trisakti berpendapat bahwa izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) setempat sebelum melakukan penjemputan paksa akan memberikan jaminan yang lebih kuat terhadap hak-hak saksi maupun tersangka. Wildan Arif Husen menegaskan bahwa seseorang yang dijemput paksa belum tentu berstatus sebagai tersangka, sehingga perlu adanya mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah tindakan sewenang-wenang.
Usulan ini juga bertujuan untuk menjaga independensi peradilan dan mencegah tindakan represif yang kerap kali dilakukan oleh aparat penegak hukum, terutama terhadap kelompok-kelompok rentan seperti mahasiswa. Dengan adanya kontrol yudisial, diharapkan proses penyidikan dapat berjalan lebih transparan, akuntabel, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini juga merupakan upaya untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil dan setara di hadapan hukum.