Industri Matcha Jepang Terancam: Dampak Kebijakan Tarif Impor AS Membayangi

Industri Teh Jepang Berjuang di Tengah Ketidakpastian Tarif Impor AS

Industri teh Jepang, khususnya produsen matcha, menghadapi tantangan serius akibat kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan petani teh, yang selama ini menikmati peningkatan permintaan global terhadap teh hijau bubuk tersebut. Kokaen, sebuah kebun teh yang didirikan pada tahun 1945 di Kota Toyota, Prefektur Aichi, menjadi salah satu contoh nyata dari bisnis yang merasakan dampak langsung dari potensi tarif ini.

Pemilik generasi ketiga Kokaen, Yoshitaka Noba, mengungkapkan kekhawatirannya terkait prospek penjualan jika tarif impor benar-benar diberlakukan. Permintaan matcha dari Amerika Serikat sangat tinggi, dan tarif dapat secara signifikan memengaruhi kemampuan mereka untuk bersaing di pasar tersebut. Kokaen, yang didirikan oleh kakek Noba, Takakichi, adalah salah satu dari sedikit kebun teh yang terletak di wilayah yang lebih dikenal sebagai pusat industri otomotif Toyota Motor Corp.

Lonjakan Ekspor dan Tantangan Produksi

Dalam beberapa tahun terakhir, nilai ekspor teh hijau Jepang telah mengalami lonjakan yang signifikan, mencapai sekitar 36,4 miliar yen pada tahun 2024. Angka ini lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan nilai ekspor sepuluh tahun sebelumnya. Amerika Serikat menjadi pasar utama, menyerap sekitar 44,2 persen dari total ekspor teh hijau Jepang. Sementara itu, Jerman berada di urutan kedua dengan pangsa pasar yang jauh lebih kecil, yaitu 9,2 persen.

Namun, di balik pertumbuhan ekspor yang menggembirakan, industri teh Jepang menghadapi tantangan dalam memenuhi permintaan yang terus meningkat. Pada tahun 2023, produksi teh Jepang mencapai sekitar 75.200 ton, menurun lebih dari 20 persen dibandingkan dengan 15 tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penurunan populasi yang cepat di Jepang.

Insentif Pemerintah untuk Produksi Tencha

Menyadari potensi matcha di pasar global, Pemerintah Jepang telah memberikan insentif kepada petani untuk beralih dari varietas teh lain ke tencha. Tencha adalah daun teh yang biasanya digiling untuk membuat matcha. Produksi tencha pada tahun 2023 meningkat menjadi 4.176 ton, lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014. Meskipun demikian, kontribusi tencha masih relatif kecil, hanya sekitar 5,6 persen dari total produksi teh yang belum diproses (aracha).

Peralihan ke produksi tencha tidaklah mudah. Investasi dalam mesin baru, termasuk yang diperlukan untuk menggiling daun teh menjadi bubuk, dapat memakan biaya ratusan juta yen. Proses ini juga sangat memerlukan tenaga kerja. Noba menekankan bahwa petani teh mungkin ragu untuk beralih ke produksi matcha karena sulit untuk memastikan apakah ini hanya tren sementara atau akan bertahan lebih lama.

Ketergantungan pada Panen Musiman

Tencha biasanya dipanen antara bulan April hingga Mei. Kokaen mengelola delapan kebun yang totalnya mencakup 1,6 hektar. Mereka mempekerjakan orang untuk memetik daun di salah satu lokasi yang kurang dari satu hektar, sementara kebun lainnya dipanen menggunakan mesin. Noba menjelaskan bahwa bisnis mereka sangat bergantung pada hasil panen selama satu bulan tersebut.

Popularitas Matcha dan Kekhawatiran Tarif

Popularitas matcha di pasar global telah membawa keuntungan besar bagi industri teh Jepang. Matcha dikenal kaya akan nutrisi, vitamin, dan asam amino. Yukiko Motohara dari Japan Food Product Overseas Promotion Center (JFOODO) menyatakan bahwa minat terhadap kesehatan meningkat selama pandemi virus corona, dan orang-orang beralih ke matcha karena mereka menganggapnya bermanfaat. Popularitas matcha juga didukung oleh penggunaannya dalam makanan manis.

JFOODO, yang berfokus pada promosi berbagai produk makanan Jepang, telah mendukung teh Jepang sejak 2017. Meskipun matcha umumnya dijual di supermarket mewah di Amerika Serikat, Motohara percaya bahwa kepopulerannya kemungkinan akan terus tumbuh seiring dengan semakin mudahnya ketersediaan produk ini. Namun, bisnis yang bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat berhati-hati terhadap potensi dampak tarif terhadap keuntungan mereka.

Ketidakpastian Ekonomi dan Harapan Industri

Ketidakpastian ekonomi global menambah kekhawatiran industri teh Jepang. Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) baru-baru ini memotong proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025. Peningkatan tarif impor oleh AS telah ditunda selama 90 hari hingga awal Juli untuk memberi waktu bagi negosiasi. Jepang telah mengirim utusannya ke Washington beberapa kali dalam upaya mencapai kesepakatan.

Noba menekankan bahwa teh bukanlah barang yang diperlukan, melainkan dianggap barang mewah dan karena itu dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Jika ekonomi AS tiba-tiba memburuk, nilai dari apa yang mereka hasilkan juga bisa turun secara tiba-tiba. Motohara dari JFOODO menyarankan konsumen untuk lebih fokus pada sejarah produksi teh hijau Jepang berkualitas tinggi. Keterampilan artisan di balik produksi tersebut tetap menjadi nilai penting, meskipun tarif tetap ada. Hal tersebut demi menjaga popularitas matcha yang terus berkembang di luar negeri.

Noba dari Kokaen setuju, tetapi juga berharap situasi tarif dapat segera diselesaikan. Dia berpendapat bahwa matcha tidak diproduksi di Amerika Serikat, sehingga mereka yang menginginkan teh ini akan membelinya dari Jepang terlepas dari tarif. Namun, akan lebih baik jika tarif tersebut dicabut, agar dunia menjadi tempat di mana produsen dapat mengirim produk mereka dengan bebas kepada siapa saja yang menginginkannya.