Terungkap di Persidangan: Beban Kerja Tak Manusiawi dan Dugaan Praktik Mafia di Program PPDS Anestesi Undip

Kasus dugaan perundungan dan pemerasan yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) kembali mencuat dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang. Sidang yang digelar pada hari Rabu (18/6/2025) tersebut menghadirkan saksi kunci, seorang mahasiswa PPDS yang mengungkap fakta-fakta mengejutkan terkait tekanan mental dan beban kerja yang tidak masuk akal yang dialami oleh para residen.

Saksi bernama Dokter Hendaru, yang merupakan teman seangkatan dari mendiang Dokter Aulia Risma (yang meninggal dunia akibat kasus ini), memberikan keterangan yang sangat memberatkan. Ia mengaku pernah didiagnosis depresi akibat tekanan kerja yang luar biasa berat selama menjalani program PPDS. Dokter Hendaru menuturkan bahwa saat masih menjadi mahasiswa semester satu, ia harus berjaga selama 22 jam sehari. Jadwal hariannya dimulai pukul 03.00 WIB pagi dan baru berakhir pukul 01.00 WIB dini hari keesokan harinya. Menurutnya, jam kerja yang panjang tersebut menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang luar biasa.

Tidak hanya itu, Dokter Hendaru juga mengungkapkan adanya tekanan mental yang disebabkan oleh tugas-tugas tambahan yang diberikan oleh senior, seperti menyusun jurnal dan presentasi. Tugas-tugas ini seringkali sangat membebani para residen, sehingga mereka terpaksa mencari bantuan dari pihak luar dengan membayar sejumlah uang. Praktik ini melahirkan istilah "Mafia," yaitu orang-orang yang dibayar untuk mengerjakan tugas-tugas akademik tersebut. Para residen angkatan 77, menurut Dokter Hendaru, terpaksa merekrut dan membayar "Mafia" dari uang kas angkatan mereka.

Selain membayar "Mafia," angkatan 77 juga mengeluarkan uang untuk membayar "Helper," yaitu orang-orang yang bertugas membelikan makanan dan kebutuhan lainnya untuk para senior PPDS. Para "Helper" ini bertugas untuk memenuhi kebutuhan para senior, mengingat para residen tidak memiliki waktu untuk keluar dan membeli makanan sendiri. Gaji untuk "Mafia" dan "Helper" diambil dari iuran kas angkatan 77, di mana setiap mahasiswa membayar Rp 20 juta per bulan selama satu semester. Iuran ini di luar Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang mencapai Rp 80 juta per mahasiswa.

Dokter Hendaru menegaskan bahwa iuran kas tersebut tidak resmi dan tidak memiliki dasar hukum. Pengeluaran resmi yang seharusnya dibayarkan oleh peserta PPDS hanyalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan uang pangkal. Kasus ini mencuat setelah meninggalnya Dokter Aulia Risma Lestari, yang memicu perhatian publik terhadap dugaan praktik perundungan dan pemerasan di lingkungan PPDS FK Undip. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kemudian menghentikan sementara kegiatan praktik PPDS Anestesi di RSUP Dr Kariadi, Semarang. Baik FK Undip maupun pihak RSUP Kariadi mengakui adanya perundungan yang dialami oleh korban selama menjalani pendidikan. Ibunda korban, Nuzmatun Malinah, telah melaporkan sejumlah senior ke Polda Jawa Tengah. Dalam proses hukum yang berjalan, penyidik telah menetapkan tiga tersangka: Taufik Eko Nugroho (TEN), mantan Kaprodi PPDS Anestesiologi, Sri Maryani (SM), staf administrasi PPDS, dan Zara Yupita Azra (ZYA), dokter senior dan terdakwa dalam sidang perdana.

Berikut adalah beberapa point yang terungkap di persidangan:

  • Beban kerja 22 jam sehari bagi mahasiswa PPDS.
  • Tekanan mental akibat tugas dari senior.
  • Praktik membayar "Mafia" untuk mengerjakan tugas.
  • Praktik membayar "Helper" untuk membelikan makanan.
  • Iuran kas angkatan sebesar Rp 20 juta per bulan.
  • Pengakuan adanya perundungan dari pihak FK Undip dan RSUP Kariadi.
  • Penetapan tiga tersangka dalam kasus ini.

Persidangan ini diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi korban serta memperbaiki sistem pendidikan PPDS agar tidak ada lagi kasus serupa di masa depan.