Pemungutan Suara Ulang Pilkada 2024: Borosnya Anggaran APBD dan Tuntutan Aksi Hukum

Pemungutan Suara Ulang Pilkada 2024: Borosnya Anggaran APBD dan Tuntutan Aksi Hukum

Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada serentak 2024 di 24 daerah telah menimbulkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara, mencapai angka Rp 392 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing daerah. Besarnya biaya ini, menurut pengamat hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, merupakan konsekuensi langsung dari ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu dan tindakan yang tidak terpuji dari beberapa peserta pilkada. Angka tersebut merupakan beban tambahan bagi daerah yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dan peningkatan pelayanan publik.

Lebih lanjut, Titi Anggraeni menekankan bahwa dampak negatif dari PSU tidak hanya terbatas pada aspek finansial. Ketidakpastian politik yang ditimbulkan akibat proses hukum yang panjang dan berujung PSU mempengaruhi stabilitas pemerintahan daerah serta menghambat proses pembangunan jangka panjang. Oleh karena itu, ia mendesak adanya sanksi tegas dan terukur bagi penyelenggara pemilu yang terbukti lalai dan bertanggung jawab atas terjadinya PSU. Sanksi tersebut, menurutnya, harus memberikan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Ia juga meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengambil tindakan disiplin yang konkret terhadap penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar aturan.

Selain itu, Titi Anggraeni juga menyoroti peran peserta pilkada yang terbukti melakukan kecurangan yang berujung pada PSU. Ia mendesak agar pembentuk Undang-Undang segera merevisi aturan yang mengatur tentang sanksi bagi peserta pemilu yang terbukti melakukan kecurangan. Revisi tersebut, menurut Titi, harus memberikan efek jera yang lebih kuat, misalnya dengan larangan bagi peserta yang terbukti bersalah untuk mengikuti pemilihan umum dan pilkada pada periode berikutnya. Dengan begitu, praktik kecurangan dalam pilkada dapat ditekan seminimal mungkin.

Sebagai informasi, berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 10 Maret 2025, terungkap bahwa anggaran PSU terbesar dialokasikan untuk Pilkada Gubernur Papua, mencapai Rp 109 miliar. Sementara itu, terdapat dua kabupaten yang mengalami kesulitan anggaran untuk membiayai PSU, yaitu Pasaman yang membutuhkan tambahan Rp 13,4 miliar (dengan sisa anggaran NPHD Rp 1,2 miliar) dan Boven Digoel yang membutuhkan Rp 31,3 miliar (dengan sisa anggaran NPHD Rp 1,2 miliar). Kejadian ini menunjukkan perlunya perencanaan dan pengawasan anggaran yang lebih ketat untuk mencegah pemborosan dana publik.

Kesimpulannya, PSU Pilkada 2024 telah menjadi bukti nyata dari pentingnya profesionalitas penyelenggara pemilu dan kepatuhan peserta pilkada terhadap aturan yang berlaku. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga agar ke depan, semua pihak terkait dapat bekerja lebih baik dalam rangka mewujudkan proses demokrasi yang bersih, adil, dan efisien, dengan meminimalisir terjadinya pemborosan dana publik.

Daftar poin penting terkait permasalahan ini:

  • Kerugian APBD mencapai Rp 392 miliar akibat PSU di 24 daerah.
  • Ketidakprofesionalan penyelenggara dan kecurangan peserta pilkada menjadi penyebab utama PSU.
  • Ancaman terhadap stabilitas politik daerah dan pembangunan jangka panjang.
  • Tuntutan sanksi tegas terhadap penyelenggara dan peserta pilkada yang melanggar aturan.
  • Usulan revisi UU untuk memberikan efek jera kepada peserta pilkada yang curang.
  • Kasus kesulitan anggaran di Pasaman dan Boven Digoel untuk membiayai PSU.