Eks Pejabat MA Diduga Manfaatkan Jabatan untuk Terima Gratifikasi Rp 1 Triliun

Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, diduga menyalahgunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi dalam jumlah fantastis. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, terungkap bahwa Zarof Ricar memiliki akses khusus yang memungkinkannya berinteraksi dengan hakim dari tingkat Pengadilan Negeri (PN) hingga hakim agung di MA.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Purwanto S Abdullah, mengungkapkan bahwa akses istimewa ini memungkinkan Zarof menerima gratifikasi yang jumlahnya mencapai Rp 1 triliun. Purwanto menjelaskan, posisi strategis yang pernah diduduki Zarof di MA, yaitu Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana (2006-2014), Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (2014-2017), dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Pelatihan Hukum dan Peradilan (2017-2022), memberikan peluang besar untuk membangun jaringan dan mempengaruhi proses peradilan.

Bukti yang memberatkan Zarof ditemukan dalam brankas pribadinya, yang berisi uang tunai senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas. Lebih lanjut, ditemukan catatan tulisan tangan yang memuat nomor perkara dan kode-kode tertentu, yang mengindikasikan keterkaitan gratifikasi dengan penanganan perkara di lingkungan pengadilan. Majelis hakim meyakini bahwa Zarof memiliki kemampuan untuk mengatur penanganan perkara berkat akses istimewa yang dimilikinya.

Salah satu contoh konkrit yang diungkap dalam persidangan adalah kasus suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, pelaku pembunuhan. Zarof diduga menerima Rp 5 miliar dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan memengaruhi majelis kasasi di MA. Hakim Purwanto menegaskan, Zarof dapat melakukan hal tersebut karena akses dan jaringan yang dibangun selama berkarir di Mahkamah Agung.

Atas perbuatannya, majelis hakim menyatakan Zarof terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi. Zarof dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama 6 bulan. Kasus ini menjadi sorotan tajam mengenai integritas dan transparansi di lingkungan peradilan, serta perlunya pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan praktik korupsi.