Pilkada Sulsel Mewarnai Sidang Pemalsuan Uang: Keterlibatan Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Terungkap
Sidang kasus peredaran uang palsu yang menyeret sejumlah nama, termasuk Kepala Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Andi Ibrahim, mengungkap fakta baru. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan, terungkap bahwa pertemuan antara Andi Ibrahim dan Annar Salahuddin Sampetoding, yang diduga sebagai otak sindikat uang palsu, membahas agenda politik Pilkada Sulawesi Selatan.
Keterangan ini muncul saat pemeriksaan saksi Andi Ibrahim pada Rabu, 18 Juni 2025. Andi Ibrahim dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan keterangan terkait keterlibatannya dalam kasus tersebut. Dalam kesaksiannya, Andi Ibrahim mengakui pertemuannya dengan Annar Salahuddin Sampetoding. Ia menjelaskan bahwa perkenalannya dengan Annar terjadi dalam sebuah organisasi bernama Cendikiawan Keraton Nusantara.
"Saya bertemu pertama kali dengan Annar Salahuddin Sampetoding dalam sebuah pertemuan organisasi Cendikiawan Keraton Nusantara beberapa tahun lalu," ujarnya di hadapan majelis hakim.
Setelah pertemuan itu, komunikasi keduanya berlanjut melalui telepon. Annar kemudian mengundang Andi Ibrahim ke kediamannya. Namun, pertemuan tersebut tidak membahas mengenai uang palsu, melainkan mengenai ambisi politik Annar yang ingin maju dalam Pilkada Sulawesi Selatan.
"Saya diundang ke rumahnya untuk membahas Pilkada Gubernur. Saat itu, Annar Sampetoding meminta bantuan kepada saya karena berniat mencalonkan diri," kata Andi Ibrahim.
Andi Ibrahim mengaku menolak permintaan tersebut dengan alasan statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Majelis hakim kemudian mempertanyakan kapasitas Andi Ibrahim sehingga Annar Sampetoding memintanya dukungan politik.
"Apa kapasitas Anda sehingga Annar Salahuddin Sampetoding meminta bantuan dukungan politik? Apakah Anda memiliki massa atau suara yang banyak?" tanya hakim.
Andi Ibrahim mengklaim bahwa dirinya adalah tokoh di organisasi Cendikiawan Keraton Nusantara dan memiliki pengaruh terhadap sekitar 30 persen suara pemilih di Sulawesi Selatan.
"Kami di organisasi Cendikiawan Keraton Nusantara memiliki banyak massa, sekitar 30 persen dari jumlah suara di Sulawesi Selatan," ungkapnya.
Pertemuan tersebut menjadi pertemuan terakhir antara Andi Ibrahim dan Annar Salahuddin Sampetoding. Setelah itu, Andi Ibrahim berkoordinasi dengan Syahruna, yang kemudian memberikan uang palsu senilai Rp 40 juta kepadanya.
Sidang kasus ini digelar secara maraton dengan menghadirkan 15 terdakwa dalam agenda sidang yang berbeda. Para terdakwa antara lain Ambo Ala, Jhon Bliater Panjaitan, Muhammad Syahruna, Andi Ibrahim, Sattariah, Sukmawati, Andi Haeruddin, Mubin Nasir, Kamarang Daeng Ngati, Irfandy, Sri Wahyudi, Muhammad Manggabarani, dan Satriadi, yang merupakan seorang ASN di kantor DPRD Sulawesi Barat.
Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Dyan Martha Budhinugraeny, dengan hakim anggota Sihabudin dan Yeni. Jaksa penuntut umum terdiri dari Basri Bacho dan Aria Perkasa Utama.
Kasus peredaran uang palsu ini terungkap pada Desember 2024 dan mengejutkan masyarakat. Uang palsu tersebut diproduksi di Kampus 2 UIN Alauddin Makassar menggunakan mesin canggih, menghasilkan uang palsu dengan nilai fantastis, mencapai triliunan rupiah, yang sulit dibedakan dari uang asli.