Kementan Ancam Tindak Peternak yang Jual Ayam di Bawah Harga Pokok Produksi

Kementerian Pertanian (Kementan) mengambil langkah tegas untuk menstabilkan harga ayam di tingkat peternak hingga konsumen. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) akan menindak tegas peternak yang menjual ayam hidup di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 18.000 per kilogram.

Dirjen PKH, Agung Suganda, dalam konferensi pers di Kantor Kementan, menyampaikan bahwa penjualan di bawah HPP dapat mengganggu stabilitas perunggasan nasional. Praktik ini dicurigai sebagai upaya untuk memanipulasi harga, yang dapat merugikan baik peternak kecil maupun besar. Pemerintah berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan adil bagi seluruh pelaku industri perunggasan.

Kementan akan mengedepankan upaya preventif dalam penegakan aturan ini. Pengawasan intensif akan dilakukan, termasuk kunjungan langsung ke pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan terhadap HPP. Namun, jika ditemukan pelanggaran berulang, sanksi administratif tegas akan diberlakukan. Sanksi tersebut dapat berupa pencabutan izin impor Grand Parent Stock (GPS) atau indukan ayam, hingga penghentian suplai pakan.

"Untuk jangka pendeknya, kita awasi tadi, kita datangi. Kalau ada yang melanggar, berdasarkan laporan tadi, paling cepatnya adalah kami pastikan peternak kalau perusahaan besar kita stop untuk impornya. Rekomendasi impor, GPS-nya, pakannya, kita stop semua," tegas Agung.

Lebih lanjut, Agung menyoroti masalah rantai pasok ayam hidup yang terlalu panjang, menyebabkan harga di tingkat konsumen menjadi mahal meskipun harga di tingkat peternak rendah. Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya perantara (middlemen) seperti broker, pengepul, dan distributor, yang masing-masing mengambil margin keuntungan. Padahal, harga ayam di tingkat konsumen telah ditetapkan Harga Acuan Pembelian (HAP) sebesar Rp 40.000/kg. Untuk menekan harga di tingkat konsumen, harga jual di tingkat peternak terpaksa ditekan, sehingga merugikan peternak.

"Jadi kalau kita lebih mendalami rantai pasok ayam broiler, saat ini tuh rantai tata niaganya terlalu panjang. Dari mulai peternakan, begitu dijual di peternakan, sampai ke rumah potong itu melalui banyak middlemen. Ada di sana broker, kemudian pengepul, distributor satu-dua. Nah di sini porsi margin itu tentu akan bertambah terus" terang Agung.

"Kita sudah coba menghitung dari mulai broker sampai dengan karkas yang dijual ke konsumen. Karena dari rumah potong itu sampai ke konsumen itu ada pengepul juga, ada lapak lagi. Itu marginnya bisa 67%. Jadi itulah yang mau kita kurangi," sambungnya.

Sebagai solusi, Kementan mendorong peternak rakyat dan mandiri untuk membentuk atau bergabung dengan koperasi, seperti koperasi Merah Putih. Langkah ini bertujuan untuk memotong rantai distribusi dan mengurangi margin keuntungan yang diambil oleh perantara. Dengan demikian, peternak dapat memperoleh harga yang lebih baik, sementara harga di tingkat konsumen tetap terjangkau.

"Jadi porsi yang 67% margin tadi itu bisa dikurangi hanya maksimum di 10%. Sehingga sisa margin tadi itu bisa diberikan kepada peternak kita," tegasnya.

Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya Kementan untuk menata ulang sistem perunggasan nasional, menciptakan ekosistem yang lebih efisien, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh pihak yang terlibat.