Terungkap! Jejak Konglomerasi Wilmar Group: Dari Kasus Hukum hingga Pemilik Saham Mayoritas
Wilmar Group, sebuah nama yang belakangan santer terdengar dalam pusaran kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO), telah menjadi sorotan publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) bahkan menyita aset senilai triliunan rupiah terkait kasus ini, menyeret Wilmar Group sebagai tersangka korporasi.
Lantas, siapakah sebenarnya pemilik di balik kerajaan bisnis Wilmar Group yang begitu besar ini?
Wilmar International, nama resmi perusahaan ini, dikenal sebagai salah satu produsen kelapa sawit raksasa di kancah global. Kendati memiliki perkebunan kelapa sawit yang luas di Indonesia dan Malaysia, perusahaan ini memilih untuk melantai di Bursa Efek Singapura (SGX), menunjukkan jejak internasionalnya yang kuat. Wilmar International Ltd pernah dinobatkan sebagai perusahaan sawit terbesar di dunia pada tahun 2018.
Struktur Kepemilikan Wilmar
Menurut data dari SGX, Wilmar International Limited terdaftar sejak 20 Juli 2000, dengan kantor pusat yang berlokasi di Singapura. SGX menyebut Wilmar sebagai grup agribisnis terkemuka di Asia.
Siapakah pemegang saham mayoritas Wilmar Group? Jawabannya adalah Kuok Group dan Archer Daniels Midland Company (ADM).
Kuok Group
Kuok Group, yang berawal dari Kuok Brothers Private Limited pada tahun 1949 di Johor Bahru, Malaysia, memulai bisnisnya dengan perdagangan beras, gula, dan tepung terigu. Kini, Kuok Group telah bertransformasi menjadi konglomerasi multinasional dengan portofolio bisnis yang merambah ke sektor properti, perhotelan, logistik, media, pelayaran, dan tentu saja, kelapa sawit.
Awal Mula Wilmar International
Kisah berdirinya Wilmar International dimulai dari kolaborasi antara Kuok Khoon Hong dari Kuok Group dan Martua Sitorus, seorang pengusaha asal Indonesia. Keduanya mendirikan perusahaan patungan bernama Wilmar Trading Pte Ltd pada 1 April 1991. Dengan modal awal hanya 100.000 dollar Singapura dan lima orang karyawan, perusahaan ini memulai perjalanannya.
Titik balik bagi perusahaan ini adalah ketika mereka membuka perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Indonesia. Proyek perdana mereka adalah pendirian PT Agra Masang Perkasa (AMP), yang mengelola lahan seluas 7.000 hektare di Sumatera Barat. Dari sinilah, Wilmar tumbuh menjadi salah satu pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia, dengan operasi hulu yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Uganda, Pantai Gading, Ghana, dan Nigeria.
Ekspansi bisnis Wilmar tak berhenti di perkebunan. Mereka merambah ke hilir dengan mendirikan pabrik pengolahan inti sawit berkapasitas 50 MT/hari di Sumatera Utara dan kilang berkapasitas 700 MT/hari di Dumai. Kilang di Dumai, yang mulai beroperasi pada tahun 1993, terus diperluas hingga mencapai kapasitas 2.400 MT/hari pada tahun 1995.
Wilmar International mengklaim diri sebagai penyuling minyak sawit, penggilingan inti sawit dan kopra terbesar, serta produsen lemak khusus, oleokimia, biodiesel, dan minyak kemasan konsumen terkemuka di Indonesia.
Keterlibatan Archer Daniels Midland (ADM)
Guna mendukung ekspansi bisnisnya, Kuok Group dan Martua Sitorus menggandeng Archer Daniels Midland (ADM), sebuah perusahaan raksasa dari Amerika Serikat, sebagai investor pada tahun 1993. Suntikan modal dari ADM memungkinkan Wilmar International untuk membangun pabrik-pabrik baru di berbagai negara, termasuk China, Bangladesh, Australia, dan Afrika.
Perusahaan ini juga memasuki bisnis perkapalan tanker dengan kapasitas awal 6.000 metrik ton, yang kemudian berkembang menjadi lima kapal tanker dengan total kapasitas 2,8 juta metrik ton.
Hingga saat ini, ADM memegang sekitar 20 persen saham Wilmar Group, menjadikannya salah satu pemegang saham dominan bersama dengan Kuok Group.
Di Indonesia, produk minyak goreng Wilmar Group yang paling dikenal adalah Sania dan Fortune, dua merek yang menguasai pangsa pasar minyak goreng kemasan yang signifikan.
Wilmar Group memiliki lebih dari 1.000 pabrik di lebih dari 30 negara dan wilayah. Jaringan distribusi mereka mencakup China, India, Indonesia, dan sekitar 50 negara dan wilayah lainnya.
Kembali pada kasus hukum yang menjeratnya, implikasi dari kasus ini terhadap operasional Wilmar Group di Indonesia masih terus dipantau. Publik menanti perkembangan lebih lanjut dari proses hukum yang sedang berjalan.