Terungkap! Praktik Pemerasan dan Perundungan di PPDS Anestesi Undip: Beban Finansial dan Tekanan Kerja Tak Manusiawi

Sidang lanjutan kasus dugaan perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) membuka tabir praktik-praktik yang mengejutkan dan memprihatinkan.

Di Pengadilan Negeri Semarang, kesaksian demi kesaksian dari rekan sejawat almarhumah dr. Aulia Risma dan mahasiswa PPDS aktif mengungkap sistem iuran tak resmi, beban kerja berlebihan, dan tekanan psikologis yang dialami para calon dokter spesialis.

Iuran Ilegal dan Ancaman Akademik

Salah satu fakta yang mencuat adalah adanya iuran kas yang tidak memiliki dasar hukum. Herdaru, saksi yang juga teman satu angkatan dr. Aulia, mengungkapkan bahwa setiap mahasiswa di angkatannya harus menyetor Rp 20 juta per bulan. Dana ini digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk menyediakan makan untuk senior dengan biaya mencapai Rp 5 juta per hari. Bahkan, beberapa senior memiliki permintaan menu khusus yang harus dipenuhi.

Tidak hanya itu, mahasiswa juga dibebani biaya operasional pendidikan (BOP) sebesar Rp 80 juta yang harus dibayarkan tunai. Andriani Widya Ayu Kartika, residen angkatan 69 yang pernah menjabat sebagai bendahara, membenarkan bahwa pembayaran BOP tunai sudah menjadi tradisi turun-temurun. Mahasiswa yang tidak membayar BOP terancam tidak diikutkan ujian. Total kewajiban yang harus dipenuhi mahasiswa per semester bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta, padahal secara resmi PPDS hanya mewajibkan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan uang pangkal.

Mafia Tugas dan Helper

Herdaru juga menyinggung istilah "mafia" dan "helper" yang berkembang di kalangan residen. "Mafia" merujuk pada pihak yang dibayar untuk mengerjakan tugas akademik seperti jurnal dan presentasi PowerPoint yang seharusnya dikerjakan oleh senior. Angkatan 77 merekrut pihak ketiga yang dibayar dari uang kas angkatan.

Sementara itu, "helper" adalah sebutan untuk lima orang yang ditugasi membelikan makanan ke luar kampus, karena residen tidak diperbolehkan keluar ruangan. Seluruh biaya untuk membayar mafia dan helper ditarik dari iuran kas yang mencapai Rp 20 juta per mahasiswa per bulan. Iuran itu berlaku selama satu semester dan berada di luar Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 80 juta yang juga harus dibayarkan secara tunai.

Jam Kerja Ekstrem dan Tekanan Mental

Selain beban finansial, para mahasiswa PPDS juga harus menghadapi tekanan fisik dan psikis yang berat. Dokter Deslia, mantan bendahara angkatan 72, mengungkapkan bahwa mahasiswa yang melakukan kesalahan akan dikenai sanksi kerja tambahan, termasuk masuk dalam tim jaga akhir pekan selama 24 jam penuh. Herdaru juga mengakui bahwa ia mengalami tekanan hebat saat menjalani jam kerja di RSUP Kariadi.

Ia merasa waktu 24 jam tidak cukup dan akhirnya mengalami depresi. Herdaru bahkan harus mengambil cuti karena tidak sanggup mengikuti ritme kerja yang dianggap tidak manusiawi. Ia menceritakan bahwa di semester pertama, ia berangkat pukul 03.00 WIB dan pulang pukul 01.00 WIB. Karena kelelahan, ia memutuskan untuk mundur sementara.

Sidang ini akan terus berlanjut dengan pemeriksaan saksi-saksi lainnya. Publik dan komunitas medis menantikan tindakan tegas dari pihak berwenang untuk mengatasi praktik-praktik yang diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun ini.