Penjaga Baitullah: Syaikh Abdul Wahhab al-Syaibi Sandang Amanah Kunci Ka'bah
Di tengah pusaran jutaan umat Islam yang melaksanakan tawaf di Masjidil Haram, tersembunyi sebuah tanggung jawab besar yang diwariskan dari generasi ke generasi: Kunci Ka'bah. Lebih dari sekadar artefak logam, kunci ini melambangkan otoritas spiritual, warisan sejarah, dan amanah kenabian yang tak ternilai harganya.
Setelah wafatnya Syeikh Shalih bin Zain al-'Abidin al-Syaibi, penjaga Ka'bah ke-77 sejak peristiwa Fathu Makkah, estafet kepemimpinan diserahkan kepada Syeikh Abdul Wahhab bin Zain al-'Abidin al-Syaibi. Beliau kini mengemban amanah sebagai sadin (penjaga dan pemelihara Ka'bah) ke-78, atau ke-109 jika diurutkan dari masa Qushay bin Kilab. Keduanya merupakan tokoh terkemuka di Arab Saudi, berasal dari keturunan Syaibah bin Usman bin Abi Thalhah.
Tradisi serah terima jabatan ini dilaksanakan tiga hari setelah masa berkabung, sebuah prosesi sakral yang bukan sekadar ritual administratif. Ini merupakan kelanjutan dari pesan Nabi Muhammad SAW, "Terimalah ini, wahai Bani Thalhah, untuk selamanya... Tidak ada yang bisa merebutnya dari kalian kecuali orang yang zalim."
Makna dan Peran Sidânah
Sidânah berasal dari kata yang sama, yang bermakna penjagaan, pengelolaan, dan pemeliharaan Ka'bah. Sosok yang menjalankan tugas ini disebut sadin, atau as-sadanah dalam bentuk jamak. Tugas utama mereka meliputi membuka dan menutup pintu Ka'bah, menyambut tamu kehormatan, mengganti kiswah (kain penutup Ka'bah), serta membersihkan dan mencuci Ka'bah.
Menurut catatan sejarah, Nabi Ismail AS merupakan penjaga pertama Ka'bah, setelah membangunnya kembali bersama Nabi Ibrahim AS. Pada masa itu, Ka'bah belum memiliki atap maupun pintu. Raja Himyar dari Yaman, As'ad al-Himyari, tercatat sebagai orang pertama yang memasang pintu Ka'bah, sehingga diperlukan kunci untuk mengamankannya.
Sistem pengelolaan Ka'bah secara terstruktur dimulai pada masa Qushay bin Kilab, leluhur Nabi Muhammad SAW, yang menyerahkan tugas sidânah dan hijâbah kepada putranya, Abdu ad-Dâr. Sejak saat itu, amanah ini diwariskan turun-temurun melalui Bani Abdu ad-Dâr, hingga akhirnya sampai kepada 'Utsman bin Thalhah dan keluarganya, yang kemudian dikenal sebagai Ālu al-Syaibi, atau Bani Syaybah.
Prosesi pencucian Ka'bah dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada 15 Muharram dan awal bulan Sya'ban, sebuah ritual khusyuk yang hanya boleh dipimpin oleh sadin. Dinding bagian dalam Ka'bah dibersihkan menggunakan 45 liter air Zamzam, 50 tolah (sekitar 600 gram) minyak mawar asli dari Taif, gaharu Kamboja, dan minyak amber murni, menggunakan kain khusus yang dibasahi air Zamzam dan minyak mawar. Prosesi ini memakan waktu sekitar empat jam.
Sidânah di Era Islam
Saat Rasulullah SAW memasuki Makkah pada peristiwa Fathu Makkah (tahun 8 Hijriah), tindakan pertama yang dilakukan adalah membersihkan Ka'bah dari 360 berhala. Beliau kemudian memasuki Ka'bah bersama Bilal bin Rabah dan Usamah bin Zaid, melaksanakan salat di antara dua tiang, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.
Setelah keluar, Ali bin Abi Thalib meminta agar kunci Ka'bah diserahkan kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Namun, saat itulah turun firman Allah yang menjadi pedoman dalam masalah amanah: "Sungguh, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..." (QS. an-Nisâ' [4]: 58).
Mendengar ayat ini, Rasulullah SAW memanggil 'Utsman bin Thalhah, pemegang kunci Ka'bah dari Bani Abdi ad-Dâr, dan mengembalikan kunci tersebut sambil bersabda: "Terimalah ini, wahai keturunan Thalhah, selamanya sepanjang masa. Tidak ada yang akan mengambilnya dari kalian kecuali orang yang zalim." (HR. ath-Thabrani)
Sejak saat itu, para ulama sepakat bahwa tugas menjaga dan memegang kunci Ka'bah adalah hak eksklusif keluarga Bani Syaibah (keturunan 'Utsman bin Thalhah), dan tidak boleh diganggu gugat, bahkan oleh keluarga Nabi SAW sendiri. Ketetapan ini ditegaskan dalam berbagai literatur hadis, termasuk Syarh Shahih Muslim (4/481).
Dalam sebuah riwayat, sebelum hijrah, Nabi Muhammad SAW pernah meminta 'Utsman bin Thalhah membuka pintu Ka'bah, namun ditolak dengan kasar. Nabi SAW tidak membalas, namun dengan tenang bersabda: "Wahai 'Utsman, mungkin suatu hari nanti engkau akan melihat kunci ini berada di tanganku, dan aku akan memberikannya kepada siapa pun yang aku kehendaki." 'Utsman menjawab: "Kalau itu terjadi, sungguh kaum Quraisy telah binasa." Nabi SAW menjawab: "Tidak! Justru ketika itu mereka akan mulia dan berjaya." Riwayat ini menjadi kenyataan pada hari Fathu Makkah.
Sidânah di Era Modern
Saat ini, meskipun Kerajaan Arab Saudi memiliki lembaga pengelola Masjidil Haram bernama ar-Ri'âsah al-'Âmmah li Syu'ûni al-Haramain, urusan kunci Ka'bah dan pengelolaan langsung Ka'bah tetap berada di tangan Āl al-Syaibi, keturunan Bani Thalhah.
Merekalah yang menyimpan kunci Ka'bah dalam kantong khusus dari kiswah, menentukan siapa yang boleh masuk, mengatur penggantian kiswah, pencucian bagian dalam, dan serah terima amanah berdasarkan senioritas. Pejabat tertinggi keluarga ini dikenal sebagai Kabîr as-Sadânah, yang saat ini dijabat oleh Syaikh Abdul Wahhab Zainal Abidin al-Syaibi.
Pada tahun 2013, sempat mencuat polemik ketika otoritas Masjidil Haram dikabarkan mengganti gembok Ka'bah tanpa sepengetahuan keluarga Bani Syaibah. Mereka segera bersurat kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz, menegaskan bahwa kunci Ka'bah bukan sekadar simbol fisik, melainkan amanah Rasulullah SAW yang tidak bisa dicampuri, bahkan oleh institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi kenabian dan warisan sejarah tetap hidup di tengah dunia modern.
Bagi banyak orang, menyentuh kunci Ka'bah atau memasukinya mungkin hanya mimpi. Namun, di balik pintu emas itu tersimpan sejarah yang dijaga dengan kesetiaan dan cinta. Syaikh Abdul Wahhab al-Syaibi tidak hanya memegang kunci besi, tetapi juga kunci kesadaran spiritual umat, bahwa rumah Allah dijaga oleh kalbu manusia yang takut kepada-Nya dan setia pada wasiat Rasul-Nya.