Eks Pejabat MA Divonis 16 Tahun Penjara Atas Penimbunan Harta Haram Senilai Rp 1 Triliun
Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, yang terjerat kasus sebagai makelar perkara, telah dijatuhi vonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Vonis ini terkait dengan penimbunan harta haram yang jumlahnya fantastis, mencapai Rp 1 triliun.
Kasus ini bermula dari putusan kontroversial Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti. Kecurigaan akan adanya praktik lancung di balik putusan tersebut mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan penyelidikan mendalam. Dari situlah kemudian terungkap keterlibatan sejumlah pihak, mulai dari hakim, pengacara, hingga ibu Ronald Tannur. Nama Zarof Ricar mencuat sebagai otak di balik praktik makelar kasus yang memuluskan jalan bagi vonis bebas tersebut.
Zarof Ricar, bukan orang sembarangan. Ia pernah menduduki posisi strategis di MA, termasuk Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum. Sebelum pensiun, ia menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA. Jejak rekam inilah yang kemudian disalahgunakan untuk praktik kotornya sebagai makelar kasus.
Penangkapan Zarof di Jimbaran, Bali, pada Oktober 2024 menjadi babak baru dalam pengungkapan kasus ini. Penggeledahan di kediamannya mengungkap fakta yang mencengangkan: uang tunai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kg. Jika ditotal, nilai harta tersebut melampaui Rp 1 triliun. Ironisnya, Zarof tidak pernah melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk dugaan penerimaan gratifikasi selama menjabat sebagai pejabat MA.
Dalam persidangan, Zarof hanya mengakui satu kali menerima gratifikasi berupa karangan bunga senilai Rp 35,5 juta saat pernikahan putranya. Padahal, harta senilai triliunan rupiah itu tersimpan rapi di rumahnya.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Zarof terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemufakatan jahat dan menerima gratifikasi. Selain hukuman penjara 16 tahun, Zarof juga diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar, yang jika tidak dibayar akan diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan. Hakim menyatakan Zarof melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 juncto Pasal 18 UU Tipikor. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menginginkan Zarof dihukum 20 tahun penjara.
Hakim Ketua Rosihan Juhriah Rangkuti dalam amar putusannya menyebut perbuatan terdakwa mencederai nama baik serta menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Hakim juga menilai Zarof serakah dan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Kendati demikian, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, seperti penyesalan Zarof atas perbuatannya, belum pernah dihukum, dan masih memiliki tanggungan keluarga.
Terungkap pula dalam persidangan, Zarof menjanjikan bantuan pengaturan putusan kasasi Ronald Tannur dengan imbalan Rp 5 miliar untuk hakim dan Rp 1 miliar untuk dirinya sendiri. Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Hakim Agung Soesilo di Makassar, namun tidak digunakan sebagaimana mestinya. Hakim Agung Soesilo sendiri menyatakan dissenting opinion dalam putusan kasasi Ronald Tannur.
Majelis hakim juga memutuskan untuk merampas seluruh harta Zarof senilai triliunan rupiah untuk negara, karena Zarof tidak dapat membuktikan asal usul uang dan emas tersebut. Hakim menyatakan aset tersebut berasal dari tindak pidana korupsi.
Berikut adalah poin-poin penting yang terungkap dalam persidangan:
- Vonis 16 tahun penjara untuk Zarof Ricar, mantan pejabat MA.
- Penimbunan harta haram senilai Rp 1 triliun.
- Keterlibatan dalam praktik makelar kasus terkait putusan bebas Ronald Tannur.
- Penyitaan harta untuk negara karena tidak dapat membuktikan asal usul.
- Hakim Agung Soesilo menyatakan dissenting opinion dalam putusan kasasi Ronald Tannur.