Krisis Ekonomi Melanda Enggano: Pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai Memukul Penghidupan Warga
Krisis Ekonomi Melanda Enggano Akibat Pendangkalan Pelabuhan
Perekonomian Pulau Enggano, Bengkulu, mengalami pukulan telak akibat terhentinya operasional Pelabuhan Pulau Baai selama delapan bulan terakhir. Pendangkalan pelabuhan telah melumpuhkan aktivitas ekonomi, memaksa ribuan warga mencari nafkah sebagai buruh harian demi menyambung hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Pelabuhan Pulau Baai, yang selama ini menjadi urat nadi perekonomian Bengkulu, tidak dapat difungsikan akibat sedimentasi yang parah. Kondisi ini berdampak langsung pada aktivitas perdagangan dan distribusi barang dan jasa di wilayah tersebut. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bengkulu, Wahyu Yuwana Hidayat, menegaskan bahwa dampak ekonomi dari penutupan pelabuhan sangat signifikan, dirasakan oleh berbagai asosiasi dan pengusaha.
Asisten II Pemprov Bengkulu, RA Denni, membenarkan bahwa pendangkalan pelabuhan telah berlangsung selama delapan bulan, mengakibatkan penghentian operasional kapal. Akibatnya, warga Pulau Enggano tidak dapat menjual hasil bumi mereka karena kapal motor penumpang (KMP) Pulo Tello tidak dapat bersandar. Iwan, seorang warga Desa Meok, mengungkapkan bahwa kebunnya tidak lagi menghasilkan pendapatan. Dia dan warga lainnya terpaksa menjadi buruh bangunan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
"Ada yang jadi kuli bangunan. Saya sekarang jadi upahan proyek. Biar ada uang. Karena ini untuk anak dan istri," kata Iwan.
Iwan juga mengalami kesulitan mengirimkan biaya kuliah untuk anaknya di Kota Bengkulu. Sebelumnya, ia rutin mengirimkan Rp 300 ribu setiap dua minggu, namun kini ia meminta anaknya untuk berhemat.
Koordinator suku-suku Enggano, Milson Kaitora, menggambarkan situasi ekonomi di pulau tersebut sebagai lumpuh total. Warung-warung sepi, rumah makan tutup, dan tidak ada aktivitas jual beli karena warga tidak memiliki uang. Meskipun kapal feri telah beroperasi kembali dan dapat mengangkut penumpang, kebutuhan akan kapal pengangkut hasil bumi belum terpenuhi.
Ketua AMAN Enggano, Mulyadi Kauno, mengungkapkan bahwa petani terpaksa menyewa kapal nelayan dengan biaya antara Rp 18 juta hingga Rp 20 juta untuk mengangkut hasil panen mereka ke luar pulau. Bagi mereka yang tidak mampu, hasil panen terpaksa dibiarkan membusuk.
Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, Fahmi Arisandi, menilai kondisi Enggano sebagai cerminan kegagalan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Ia menyoroti bahwa meskipun bantuan beras telah diberikan, hal itu tidak cukup untuk mengatasi masalah ekonomi yang mendalam. Menurutnya, kebutuhan mendesak saat ini adalah kapal pengangkut hasil bumi. Masyarakat adat memperkirakan bahwa setidaknya 10 kapal dibutuhkan setiap kali keberangkatan untuk menampung seluruh hasil panen.
"Hitungan kami, total ada Rp 1,8 miliar per bulan uang dari hasil pertanian yang hilang saat ini gara-gara tidak terbawa kapal. Dan angka ini, bukan cuma dari pisang. Ada yang lain, seperti kelapa, kakao, pinang, melinjo dan lain-lain," ungkapnya.
AMAN dan masyarakat adat Enggano mendesak pemerintah daerah untuk mengambil langkah strategis guna mengatasi krisis ekonomi ini. Mereka mengusulkan subsidi biaya pengiriman hasil bumi dan mempertanyakan komitmen pemerintah daerah terhadap Enggano.
Dampak Pendangkalan Pelabuhan
Berikut adalah dampak utama dari pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai:
- Lumpuhnya perekonomian lokal: Aktivitas perdagangan dan distribusi barang dan jasa terhambat.
- Hilangnya mata pencaharian: Warga kehilangan pekerjaan dan pendapatan, terpaksa menjadi buruh harian.
- Kesulitan memenuhi kebutuhan dasar: Warga kesulitan membeli makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya.
- Gangguan pendidikan: Orang tua kesulitan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
- Kerugian petani: Hasil panen membusuk karena tidak dapat dijual.
Masyarakat Enggano berharap pemerintah segera mengambil tindakan nyata untuk mengatasi masalah pendangkalan pelabuhan dan memulihkan perekonomian pulau tersebut.