Konflik Tambak Udang dan Hutan Lindung di Sumut: Laporan Polisi dan Dukungan Gubernur
Konflik Tambak Udang dan Hutan Lindung di Sumatera Utara: Laporan Polisi dan Dukungan Gubernur
Perseteruan antara PT Tun Sewindu, perusahaan tambak udang, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumatera Utara, Yuliani Siregar, semakin memanas. PT Tun Sewindu telah melaporkan Yuliani ke Polda Sumut atas dugaan pembongkaran pagar di lahan yang sebagian masuk kawasan hutan lindung di Desa Ragemuk, Deli Serdang. Namun, di balik laporan tersebut, terungkap fakta bahwa perusahaan tersebut mengakui kepemilikan lahan yang sebagian masuk kawasan lindung tersebut.
Kuasa hukum PT Tun Sewindu, Junirwan Kurnia, menjelaskan bahwa kliennya telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1982 dan memasang pagar sejak 1988. Meskipun mengakui sekitar 12 persen lahan tambak masuk dalam kawasan hutan lindung, Junirwan menyatakan bahwa permohonan pengeluaran lahan tersebut dari kawasan hutan lindung telah diajukan dan telah diterima sebagai subjek hukum berdasarkan UU Cipta Kerja Pasal 110 A dan 110 B. Ia menilai tindakan Yuliani yang melibatkan warga dalam pembongkaran pagar sebagai tindakan ilegal dan melanggar Pasal 170 KUHP juncto 406 KUHP, dengan kerugian materiil mencapai Rp 300 juta dan kerugian moral yang signifikan. Pihaknya berpendapat tindakan tersebut memberikan citra negatif terhadap perusahaan seolah-olah mereka yang melanggar aturan.
Di sisi lain, Yuliani Siregar membela tindakannya dengan menyatakan bahwa pembongkaran pagar merupakan bagian dari penegakan hukum. Ia menjelaskan bahwa sebelum melakukan pembongkaran, ia telah meminta PT Tun Sewindu untuk membongkar pagar secara mandiri. Yuliani menegaskan bahwa lahan tersebut adalah kawasan hutan lindung yang tidak dapat dimiliki perorangan tanpa izin resmi dan menekankan komitmennya dalam menegakkan hukum tanpa terlibat dalam tindakan korupsi. Pernyataan Yuliani ini mendapatkan dukungan penuh dari Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang meminta Dinas LHK Sumut untuk melawan laporan tersebut dan menindaklanjuti kasus ini.
Gubernur Nasution dengan tegas menyatakan, jika memang lahan tersebut terbukti masih masuk dalam kawasan hutan lindung, maka Dinas LHK Sumut harus melawan laporan dari PT Tun Sewindu dan mengambil langkah hukum yang diperlukan. Sikap tegas Gubernur ini semakin memperkeruh situasi dan menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang tajam dalam penanganan konflik ini. Perkembangan kasus ini akan terus dipantau mengingat implikasinya terhadap penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan kawasan hutan lindung di Sumatera Utara.
Poin-poin penting: * PT Tun Sewindu melaporkan Kadis LHK Sumut atas dugaan pembongkaran ilegal pagar di lahan tambak. * PT Tun Sewindu mengakui sebagian lahannya masuk kawasan hutan lindung (sekitar 12%). * PT Tun Sewindu telah mengajukan permohonan pengeluaran lahan dari kawasan hutan lindung berdasarkan UU Cipta Kerja. * Kadis LHK Sumut membela diri dengan menyatakan tindakannya sebagai penegakan hukum. * Gubernur Sumut mendukung penuh tindakan Kadis LHK Sumut dan meminta melawan laporan tersebut.
Kasus ini menyoroti kompleksitas permasalahan perizinan dan pengelolaan lahan di kawasan hutan lindung, serta pentingnya penyelesaian konflik melalui jalur hukum dan dialog yang konstruktif. Ke depan, diharapkan adanya transparansi dan kepastian hukum yang lebih baik dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mencegah konflik serupa.