Harmonisasi Legislasi: Merajut Keterlibatan Publik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
Menjembatani Perbedaan: Partisipasi Publik sebagai Kunci Harmonisasi Legislasi di Indonesia
Ketegangan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah fenomena baru dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia. Pernyataan Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, yang menyoroti pembatalan undang-undang oleh MK, mencerminkan kompleksitas hubungan antara lembaga legislatif dan yudikatif. Di balik kritik tersebut, muncul pertanyaan mendasar: Sejauh mana partisipasi publik yang bermakna telah diimplementasikan dalam proses legislasi di Indonesia?
Prinsip partisipasi publik yang bermakna, yang meliputi hak untuk didengar dan dipertimbangkan, menjadi pijakan penting bagi MK dalam menilai keabsahan suatu undang-undang. Prinsip ini sejalan dengan standar internasional yang menekankan bahwa partisipasi politik harus inklusif, informatif, dan berdampak nyata. Sayangnya, praktik di lapangan seringkali menunjukkan bahwa partisipasi publik hanya sebatas formalitas, tanpa mekanisme umpan balik yang jelas atau jaminan bahwa masukan masyarakat benar-benar dipertimbangkan. Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan undang-undang seringkali minim dan kurang substansial.
Urgensi Partisipasi Publik yang Bermakna
Partisipasi publik yang bermakna bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan prosedural, tetapi juga merupakan fondasi legitimasi hukum. Jurgen Habermas, dengan teori demokrasi deliberatifnya, menekankan bahwa hukum yang sah lahir dari proses diskursif yang rasional dan inklusif. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui argumentasi yang logis dan dapat diterima oleh semua pihak yang terdampak. Oleh karena itu, partisipasi publik yang efektif menjadi krusial dalam menciptakan undang-undang yang berkualitas dan berkeadilan.
Evaluasi Praktik Partisipasi Publik di Indonesia
Praktik partisipasi publik dalam legislasi di Indonesia seringkali diwarnai dengan keterbatasan. Uji publik atau konsultasi publik yang diselenggarakan seringkali berlangsung dalam waktu singkat dan tanpa mekanisme umpan balik yang jelas. Akibatnya, masyarakat merasa bahwa masukan mereka tidak dihargai dan tidak berdampak pada hasil akhir undang-undang. Tren legislasi yang terburu-buru dan kurang transparan semakin memperburuk situasi ini. Partisipasi publik menjadi sekadar formalitas tanpa substansi yang berarti.
Membangun Sistem Partisipasi yang Terukur dan Inklusif
Untuk mengatasi permasalahan ini, DPR perlu membangun sistem partisipasi yang terukur dan inklusif. Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
- Standarisasi Prosedur: Mengembangkan prosedur standar untuk setiap tahapan legislasi, mulai dari perencanaan hingga pengesahan, dengan menetapkan batas waktu konsultasi publik, metode pengumpulan masukan, dan mekanisme umpan balik.
- Pemanfaatan Teknologi: Memanfaatkan platform daring, media sosial, dan aplikasi khusus untuk menjangkau partisipan yang lebih luas dan memfasilitasi proses konsultasi publik.
- Evaluasi Pasca-Legislasi: Melakukan evaluasi pasca-legislasi untuk mengukur efektivitas partisipasi berdasarkan data konkret, seperti jumlah masukan yang diterima, isu yang diangkat publik, dan seberapa banyak yang tercermin dalam draf final.
- Dialog Kelembagaan: Mengintensifkan dialog kelembagaan antara DPR dan MK untuk memperjelas ekspektasi dan peran masing-masing lembaga, serta membuka ruang untuk perbaikan prosedural.
Menciptakan Harmoni Legislasi Melalui Partisipasi Publik
Dengan reformasi menyeluruh dalam hal partisipasi, DPR dapat meningkatkan kualitas legislasi sekaligus memperkuat legitimasinya di mata publik. Partisipasi publik bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi fondasi utama dari proses legislasi yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Hanya dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan bermakna, DPR dapat menghasilkan undang-undang yang benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan membangun partisipasi yang kuat dan inklusif, Indonesia dapat menciptakan kerangka legislatif yang lebih responsif, akuntabel, dan didukung oleh warga negaranya. Ini akan membantu menjembatani kesenjangan antara DPR dan MK, yang mengarah pada proses yang lebih harmonis dan efektif untuk membentuk hukum negara.