Polemik Bea Masuk Anti Dumping Benang Sintetis, HIPMI Soroti Potensi Kerugian Industri Hulu Nasional
Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menolak pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk benang filamen sintetik tertentu yang berasal dari Tiongkok. HIPMI menilai, kebijakan ini berpotensi besar merugikan industri hulu tekstil di Indonesia.
Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Anggawira, menjelaskan bahwa penolakan BMAD akan membuka pintu bagi banjirnya impor benang filamen sintetik ke pasar domestik. Situasi ini menciptakan ketidakseimbangan persaingan yang signifikan, terutama bagi industri hulu yang membutuhkan investasi modal besar dan menyerap banyak tenaga kerja.
"Keputusan ini sangat merugikan industri dalam negeri, terutama sektor hulu yang merupakan fondasi bagi industri tekstil secara keseluruhan," tegas Anggawira.
Industri hulu memiliki peran vital sebagai pemasok bahan baku utama bagi sektor hilir. Tekanan terhadap sektor ini dapat berakibat fatal, termasuk penurunan utilisasi mesin produksi, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan bahkan deindustrialisasi.
"Jika industri hulu tekstil terpuruk, maka sektor hilir juga akan mengalami stagnasi. Penutupan pabrik-pabrik hulu akan menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi ribuan pekerja," imbuhnya.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) telah mengusulkan penerapan tarif BMAD minimal sebesar 20 persen, dengan tujuan menjaga keseimbangan antara sektor hulu dan hilir.
Anggawira menyayangkan bahwa penolakan usulan ini mengindikasikan keberpihakan terhadap kepentingan sektor hilir, sementara sektor hulu dibiarkan berjuang dalam persaingan yang tidak adil dengan produk impor yang seringkali mendapatkan subsidi dan fasilitas fiskal dari negara asal.
HIPMI mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, dengan mengedepankan prinsip keseimbangan industri.
Kementerian Perdagangan, melalui Menteri Perdagangan Budi Santoso, menjelaskan bahwa penolakan pengenaan BMAD didasarkan pada pertimbangan dari sejumlah menteri terkait. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy, turut memberikan masukan dalam pengambilan keputusan ini.
Dalam surat balasan kepada Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), Mendag menjelaskan bahwa pembahasan mendalam telah dilakukan melalui rapat pleno Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (PKN). Forum ini melibatkan berbagai pihak, termasuk KPPU, API, APSYFI, dan APINDO. Pertemuan lanjutan juga diadakan di Kementerian Perdagangan untuk membahas isu ini secara komprehensif.
Dari berbagai masukan yang diterima, Mendag menyimpulkan bahwa pengenaan BMAD harus mempertimbangkan dampak keseluruhan terhadap industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia. Pasokan benang filamen sintetik ke pasar domestik saat ini terbatas karena kapasitas produksi nasional belum mencukupi kebutuhan industri. Sebagian besar produsen benang filamen sintetik memproduksi untuk keperluan internal, dan produsen utama berlokasi di Kawasan Berikat.
Selain itu, sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan kebijakan trade remedies, seperti BMTP Benang dan BMAD Polyester Staple Fiber. Pengenaan BMAD terhadap benang filamen sintetik, yang merupakan bahan baku utama, dikhawatirkan akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing industri hilir.
Mendag juga menyoroti bahwa industri TPT, baik hulu maupun hilir, sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geo-ekonomi politik global, pengenaan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri. Kontribusi sektor industri TPT terhadap PDB juga mengalami penurunan setelah pandemi Covid-19.