PHRI Menggugat Praktik Ilegal OTA Asing: Kerugian Negara dan Ancaman Bagi Pengusaha Lokal
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dengan tegas menyoroti keberadaan Online Travel Agent (OTA) asing yang beroperasi tanpa mematuhi regulasi yang berlaku di Indonesia. PHRI mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas, termasuk opsi pemblokiran, guna melindungi kepentingan pengusaha lokal dan mencegah kerugian negara yang lebih besar. Praktik bisnis OTA asing yang memanfaatkan celah hukum dinilai merugikan ekosistem pariwisata Indonesia.
Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, mengungkapkan bahwa OTA asing tersebut menghindari kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) dengan tidak mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Akibatnya, mereka dapat beroperasi secara bebas dan bahkan menjadi platform bagi penjualan akomodasi ilegal. Kondisi ini menciptakan persaingan tidak sehat dan merugikan pengusaha domestik yang taat pada peraturan.
Berikut adalah dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik ilegal OTA asing:
- Kehilangan Potensi Pajak: Negara kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan karena OTA asing tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.
- Hilangnya Lapangan Kerja: Pekerja lokal kehilangan peluang kerja karena OTA asing cenderung menggunakan tenaga kerja asing atau sistem otomatisasi yang mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia.
- Persaingan Tidak Sehat: Pelaku usaha domestik dirugikan oleh praktik persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh OTA asing, seperti menawarkan harga yang tidak wajar atau memberikan promosi yang berlebihan.
- Akomodasi Ilegal: Menjadi wadah penjualan akomodasi ilegal yang merugikan industri pariwisata dalam negeri
PHRI menilai bahwa Kementerian Pariwisata (Kemenpar) kurang responsif dalam menanggapi masalah ini. Kemenpar dinilai lebih fokus pada promosi dan investasi, tanpa membenahi fondasi hukum dan pengawasan industri. Padahal, masalah OTA asing ilegal ini telah disuarakan sejak tahun 2016. PHRI menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan menutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi.
PHRI juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik penjualan akomodasi ilegal yang marak terjadi di berbagai platform digital dan media sosial. Iklan bisnis yang beredar seharusnya diawasi ketat demi melindungi konsumen, menjaga ketertiban ruang, keamanan, serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata.
Maulana Yusran membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang telah menempatkan pariwisata sebagai prioritas strategis. Di Indonesia, kontribusi sektor pariwisata belum optimal karena dana yang diperoleh masih banyak digunakan untuk belanja pegawai, bukan pengembangan industri. PHRI mengusulkan pembentukan lembaga independen seperti tourism board agar kebijakan pengembangan pariwisata tidak tergantung pada politik jangka pendek.
Sebelumnya, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang, menyatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan pembinaan terhadap OTA dan pelaku usaha digital. Hal ini dilakukan untuk mewajibkan pelaku usaha digital mengurus perizinan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) agar kegiatan terdaftar secara resmi dan dapat diawasi. Akomodasi ilegal juga diwajibkan untuk memiliki izin usaha agar bisa beroperasi secara resmi dan dapat diawasi.