Eskalasi Konflik Timur Tengah Ancam Lonjakan Biaya Logistik Global
markdown Kekhawatiran melanda dunia usaha terkait potensi kenaikan biaya logistik internasional akibat eskalasi konflik geopolitik antara Israel dan Iran. Institut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyoroti risiko terganggunya distribusi energi dari Timur Tengah, yang dapat memicu efek domino pada rantai pasok global.
Ketua ALFI Institute, Yukki Nugrahawan Hanafi, mengungkapkan skenario paling mengkhawatirkan adalah blokade Selat Hormuz. Jalur strategis ini merupakan urat nadi distribusi minyak dan gas dari Timur Tengah ke wilayah Asia Pasifik. Para pelaku usaha logistik, baik di tingkat internasional maupun nasional, kini tengah menghitung risiko yang mungkin timbul jika harus melewati perairan dekat Selat Hormuz.
Mitigasi risiko blokade Selat Hormuz berpotensi mengurangi akses dan ketersediaan logistik di perairan tersebut, yang pada gilirannya akan mengganggu rantai pasok global. Selat Hormuz memegang peranan vital dalam distribusi energi dunia. Data dari Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan, rata-rata 20 juta barel minyak mentah diangkut melalui selat ini setiap hari, setara dengan 30% total perdagangan dunia. Selain itu, sekitar 20% perdagangan global gas alam cair (LNG) juga melewati Selat Hormuz.
Selain potensi terhambatnya akses perairan, kenaikan harga komoditas energi akibat blokade Selat Hormuz diperkirakan akan semakin mendongkrak biaya logistik. Menurut Yukki, situasi ini akan berdampak signifikan pada aktivitas ekspor-impor Indonesia dan daya saing produk nasional. Kekhawatiran semakin bertambah dengan potensi respons terhadap blokade Selat Hormuz, yang dapat memicu aksi serupa di Laut Merah.
"Jika Iran melakukan blokade Selat Hormuz sebagai balasan terhadap Israel, kenaikan biaya logistik tidak hanya disebabkan oleh perubahan jalur perdagangan, tetapi juga oleh peningkatan biaya operasional akibat lonjakan harga komoditas energi, terutama minyak mentah," jelas Yukki.
Di tengah perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh perang tarif sepanjang tahun 2025, kenaikan biaya logistik akan semakin membebani pelaku usaha ekspor-impor. Pengalaman konflik di Laut Merah pada akhir 2023 dan awal 2024 memberikan gambaran jelas dampaknya. Para pelaku usaha harus menanggung biaya pengangkutan yang lebih tinggi dan menghadapi disrupsi akibat waktu transit pengiriman yang lebih lama. Rantai pasok kebutuhan nasional juga berpotensi terganggu akibat penyesuaian yang dilakukan pelaku usaha untuk mengatasi hambatan logistik.
"Para pelaku usaha nasional perlu meningkatkan kewaspadaan dan mengambil langkah antisipatif terhadap potensi kenaikan biaya logistik. Terutama jika eskalasi konflik Israel-Iran berlarut-larut dan meluas ke jalur perdagangan utama lainnya, seperti Laut Merah," pungkas Yukki.