Ahli Hukum Soroti Validitas Alat Bukti dalam Sidang Kasus Hasto Kristiyanto

Dalam persidangan kasus dugaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 dan dugaan menghalangi penyidikan terhadap Harun Masiku, yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai terdakwa, isu mengenai legalitas alat bukti menjadi sorotan utama.

Maruarar Siahaan, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yang dihadirkan sebagai ahli dalam sidang tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (19/6/2025), menekankan pentingnya alat bukti yang sah dalam sebuah proses peradilan. Ia menganalogikan alat bukti yang diperoleh secara ilegal sebagai "pohon beracun," yang berpotensi merusak seluruh rangkaian proses hukum.

"Satu alat bukti saja yang diperoleh secara tidak sah, atau melanggar aturan, itu tidak boleh dipergunakan," tegas Maruarar. Ia menambahkan, alat bukti yang cacat secara hukum harus dienyahkan dari proses peradilan, dan jika tetap digunakan, akan menghasilkan konsekuensi yang merusak, layaknya memakan buah dari pohon beracun.

Maruarar menjelaskan lebih lanjut bahwa penggunaan alat bukti yang tidak sah dapat mengancam validitas dan keadilan dalam proses hukum. Analogi "buah beracun" menggambarkan betapa berbahayanya dampak penggunaan alat bukti ilegal. Ia mencontohkan bahwa prinsip ini juga dianut dalam sistem hukum acara pidana di Amerika Serikat, di mana alat bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat diterima di pengadilan.

UU Mahkamah Konstitusi secara jelas menyatakan bahwa setiap alat bukti yang diajukan dalam persidangan harus diperoleh melalui cara-cara yang sah. Maruarar mencontohkan, jika seseorang memperoleh alat bukti dengan cara mencuri, alat bukti tersebut tidak dapat digunakan untuk mendukung argumen pihak manapun dalam persidangan. Prinsip ini, menurutnya, perlu ditegaskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar menjadi pedoman yang jelas bagi penegak hukum.

  • Alat bukti yang diperoleh secara ilegal tidak boleh digunakan dalam persidangan.
  • Penggunaan alat bukti ilegal dapat merusak validitas dan keadilan proses hukum.
  • Prinsip ini juga dianut dalam sistem hukum acara pidana di Amerika Serikat.
  • UU Mahkamah Konstitusi secara jelas menyatakan bahwa setiap alat bukti yang diajukan dalam persidangan harus diperoleh melalui cara-cara yang sah.
  • Jika seseorang memperoleh alat bukti dengan cara mencuri, alat bukti tersebut tidak dapat digunakan untuk mendukung argumen pihak manapun dalam persidangan.

Maruarar berharap penegasan prinsip ini dalam KUHAP akan memberikan kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan alat bukti dalam proses peradilan. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan secara transparan dan akuntabel.