Setelah Dua Dekade, Warga Transmigrasi Sukabumi Akhirnya Kantongi Sertifikat Tanah
Penantian panjang warga transmigrasi lokal di Sukabumi, Jawa Barat, selama lebih dari dua dekade akhirnya berbuah manis. Mereka kini dapat bernapas lega setelah menerima Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang telah lama mereka tempati dan garap.
Kisah perjuangan mendapatkan kepastian hukum atas tanah ini dirasakan betul oleh Solihin, seorang warga Sagaranten, Sukabumi. Sejak tahun 2005, ia telah berupaya mengurus SHM, namun prosesnya berjalan lambat dan berlarut-larut. Ia dan keluarga mulai menempati wilayah transmigrasi ini sejak tahun 2002. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat ditemui di Balai Makarti Kementerian Transmigrasi, Jakarta Selatan, Rabu (18/6/2025). Solihin tak henti-hentinya mengucap syukur atas terwujudnya impian yang telah lama dinantikannya.
"Sudah sejak 2005 diperjuangkan sampai ganti-ganti kepala desa. Kepala desa sekarang perjuangannya langsung ke atas, didorong oleh bapak camat, bapak bupati, nah alhamdulillah," ungkap Solihin dengan nada syukur.
Solihin, yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani, menerima SHM untuk lahan garapan yang menjadi sumber penghidupannya. Baginya, sertifikat ini bukan hanya sekadar lembaran kertas, tetapi juga jaminan kepastian dan keamanan untuk masa depan keluarganya.
Kisah serupa juga dialami oleh Ruswadi, warga Sagaranten lainnya. Pria berusia 39 tahun ini juga baru saja menerima SHM atas lahan garapannya. Ruswadi menuturkan bahwa proses pengurusan SHM ini tidak memungut biaya sama sekali. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi para transmigran yang sebagian besar berprofesi sebagai petani atau buruh tani.
Lantas, mengapa proses penerbitan SHM ini memakan waktu hingga 20 tahun? Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman Suryanagara menjelaskan bahwa pembentukan kementerian khusus yang menangani transmigrasi menjadi titik balik dalam penyelesaian masalah ini. Sebelumnya, urusan transmigrasi hanya berada di tingkat direktorat jenderal. Dengan adanya kementerian, penanganan masalah transmigrasi menjadi lebih fokus dan terarah.
Namun, Iftitah menegaskan bahwa kewenangan penerbitan SHM tetap berada di tangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kementerian Transmigrasi berperan aktif dalam melaporkan dan mengkoordinasikan proses penerbitan SHM kepada Kementerian ATR/BPN.
"Oleh karena itu dengan level kementerian ini kami melihat potensi bahwa kami mengelola lebih dari 3,1 juta ha tanah transmigrasi tentu banyak sekali persoalan-persoalan terkait lahan tersebut tentu itu yang akan kami selesaikan," ujar Iftitah.
Iftitah mengungkapkan bahwa masih ada lebih dari 100 ribu bidang tanah transmigrasi yang belum disertifikatkan. Bidang-bidang tanah tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Natuna, Kepulauan Riau, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga Jawa.
Untuk mengatasi permasalahan agraria di kawasan transmigrasi, Kementerian Transmigrasi telah meluncurkan program TransTuntas. Program ini diharapkan dapat mempercepat proses sertifikasi tanah dan memberikan kepastian hukum bagi para transmigran.
Program TransTuntas mencerminkan komitmen pemerintah dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi para transmigran yang telah berkontribusi dalam pembangunan negara. Dengan adanya kepastian hukum atas tanah, diharapkan para transmigran dapat lebih produktif dan meningkatkan taraf hidup mereka.