Kemeriahan Karapan Marmot Warnai Pembukaan Musim Kemarau di Lumajang
Desa Tegal Bangsri, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada hari Kamis (19/6/2025) lalu, menjadi saksi bisu sebuah tradisi unik dan meriah. Ratusan warga setempat dan dari daerah tetangga seperti Jember dan Probolinggo, tumpah ruah di arena pacuan untuk menyaksikan karapan marmot, sebuah perlombaan yang tidak biasa dan jauh dari kesan serius.
Bukan kerbau atau sapi yang menjadi bintang di arena pacuan ini, melainkan puluhan marmot kecil yang lincah. Hewan pengerat yang biasanya hanya menjadi peliharaan rumahan ini, berubah menjadi "atlet" yang siap berkompetisi untuk menjadi yang tercepat. Sorak sorai penonton, tawa riang, dan pekikan semangat menggema di sepanjang lintasan, menciptakan suasana yang hidup dan penuh kegembiraan.
Aturan dalam karapan marmot ini cukup sederhana. Tidak ada joki yang menunggangi marmot. Para pemilik marmot hanya bertugas melepaskan hewan peliharaan mereka di garis start, lalu memberikan dukungan moral dengan bersorak dan memanggil-manggil nama marmot kesayangan mereka. Lintasan sepanjang 50 meter menjadi arena pembuktian bagi para marmot untuk menunjukkan kecepatan dan ketangkasan mereka.
Afandi, salah satu panitia penyelenggara, menjelaskan bahwa ada 48 peserta yang ambil bagian dalam karapan marmot kali ini. Para peserta datang dari berbagai daerah di sekitar Lumajang, seperti Jember dan Probolinggo. Lebih dari sekadar hiburan, karapan marmot bagi masyarakat Lumajang memiliki makna yang lebih dalam. Tradisi ini menjadi penanda atau penyambut datangnya musim kemarau. Sebuah perayaan yang menggabungkan unsur hiburan dengan kearifan lokal dalam menghadapi perubahan musim.
"Hadiahnya ada tropi, uang, kalau tujuannya untuk hiburan, sama kalau orang sini biasanya kalau sudah ada karapan marmot berarti sudah musim kemarau, karena gak bisa balapan kalau hujan," ujar Afandi.
Marmot-marmot yang diikutkan dalam karapan ini bukanlah marmot sembarangan. Mereka adalah marmot pilihan yang mendapatkan perawatan khusus dari pemiliknya. Sebelum perlombaan, para "atlet" cilik ini diberi jamu dan pakan khusus yang dipercaya dapat meningkatkan stamina dan kecepatan mereka.
Bagas, salah seorang peserta karapan marmot, mengungkapkan bahwa marmot peliharaannya diberi jamu yang terbuat dari jahe dan kunyit setiap malam. Selain itu, marmot tersebut juga diberi pakan khusus berupa rumput keriting.
"Perawatannya itu dikasih jamu kalau malam, biasanya jahe sama kunyit, terus makannya pakai rumput keriting," kata Bagas.
Seperti halnya kompetisi pada umumnya, karapan marmot juga memberikan imbalan bagi para pemenang. Selain trofi dan hadiah uang, marmot yang berhasil meraih juara akan mengalami peningkatan nilai jual yang signifikan. Kemenangan dalam karapan marmot bukan hanya tentang hadiah, tetapi juga tentang pengakuan, prestise, dan kebanggaan bagi pemiliknya.
Rofik, salah seorang peserta karapan marmot, mengatakan bahwa harga marmot yang menang bisa naik hingga Rp 500.000, padahal harga belinya hanya Rp 30.000.
"Kalau menang harganya naik bisa sampai Rp 500.000, belinya cuman Rp 30.000," kata Rofik.
Karapan marmot bukan sekadar perlombaan adu cepat, melainkan sebuah perpaduan unik antara tradisi, hiburan, dan kearifan lokal yang patut dilestarikan. Tradisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Lumajang dan menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat setempat.