Rendahnya Laporan Kasus Epilepsi di Sumenep: Tantangan Akses dan Pemahaman Kesehatan

Rendahnya Laporan Kasus Epilepsi di Sumenep: Tantangan Akses dan Pemahaman Kesehatan

Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menghadapi tantangan dalam penanggulangan penyakit epilepsi. Data yang diperoleh dari 30 puskesmas di wilayah daratan dan kepulauan menunjukkan angka pelaporan kasus epilepsi yang rendah. Dari total 30 puskesmas, hanya empat yang melaporkan kasus epilepsi sepanjang tahun 2024. Puskesmas Kepulauan Raas mencatat angka tertinggi dengan 29 kasus, diikuti Puskesmas Batuan (2 kasus), Puskesmas Nonggunong Kepulauan Sepudi (1 kasus), dan Puskesmas Kangayan Pulau Kangean (10 kasus). Sisanya, 26 puskesmas belum menerima laporan kasus epilepsi sama sekali. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terkait akses dan pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan P2KB Kabupaten Sumenep, Achmad Syamsuri, mengungkapkan beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya angka pelaporan. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melaporkan kasus epilepsi. Banyak penderita dan keluarga penderita menganggap epilepsi sebagai penyakit yang dapat sembuh sendiri tanpa memerlukan perawatan medis. Mereka seringkali hanya memberikan pengobatan tradisional, seperti mengoleskan minyak kayu putih, tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan. Kedua, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang epilepsi. Kurangnya pemahaman ini menyebabkan banyak penderita dan keluarga tidak menyadari pentingnya penanganan medis yang tepat. Ketiga, epilepsi mungkin tidak masuk dalam daftar sepuluh penyakit terbanyak yang dikonsultasikan ke puskesmas. Penyakit-penyakit seperti diare, demam berdarah dengue (DBD), batuk, dan infeksi kulit umumnya mendominasi kunjungan pasien ke puskesmas.

Syamsuri menambahkan, gejala epilepsi yang bersifat sementara, yaitu kejang yang berlangsung selama 5-10 menit (maksimal 30 menit) dan diikuti kesadaran kembali seperti sedia kala, mungkin juga turut berkontribusi terhadap rendahnya angka pelaporan. Setelah serangan berakhir, penderita seringkali merasa pulih tanpa memerlukan perawatan lebih lanjut. Namun, hal ini tidak mengurangi pentingnya penanganan medis untuk mencegah komplikasi di kemudian hari.

Lebih lanjut, Syamsuri menekankan pentingnya kesadaran akan potensi bahaya bagi penderita epilepsi. Mereka rentan terhadap kecelakaan, terutama di dekat air dan api. Kehilangan kesadaran saat serangan epilepsi dapat menyebabkan tenggelam atau terbakar. Oleh karena itu, pencegahan dan pengawasan yang ketat sangat penting, terutama bagi penderita epilepsi dan keluarganya. Ke depan, upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan akses layanan kesehatan untuk penderita epilepsi menjadi hal krusial yang perlu diperhatikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Peningkatan edukasi dan program kesehatan masyarakat yang terintegrasi dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Pelaporan Kasus Epilepsi di Sumenep:

  • Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pelaporan medis.
  • Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang epilepsi dan penanganannya.
  • Persepsi bahwa epilepsi sembuh sendiri tanpa perlu perawatan medis.
  • Pengobatan tradisional yang dirasa cukup efektif.
  • Epilepsi bukan termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang sering dilaporkan ke puskesmas.
  • Durasi serangan epilepsi yang relatif singkat dan berakhir dengan kesadaran kembali.
  • Potensi bahaya bagi penderita epilepsi yang harus diwaspadai (dekat air dan api).