Rangkap Jabatan Wamen di BUMN: Erosi Keteladanan dan Melebarnya Jurang Ketimpangan
Ironi mencolok mewarnai lanskap demokrasi Indonesia, di mana puluhan wakil menteri (wamen) terindikasi rangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fenomena ini mengemuka di tengah perjuangan jutaan rakyat yang berdesakan mencari nafkah, kontras dengan elite politik yang justru berlomba mengumpulkan posisi.
Para pencari kerja, dari lulusan baru hingga pekerja berpengalaman, rela mengantre panjang di job fair, pabrik, bahkan terpaksa menerima pekerjaan kasar demi menyambung hidup. Sementara itu, para wamen justru menikmati fasilitas dan kekuasaan dari rangkap jabatan, memicu pertanyaan tentang esensi jabatan publik sebagai amanah pengabdian atau lahan panen.
Kontroversi Rangkap Jabatan
Di tengah retorika reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih, terungkap fakta bahwa 25 wamen di kabinet pemerintahan sebelumnya merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Jumlah ini berpotensi bertambah seiring dengan peningkatan jumlah wamen di era pemerintahan Prabowo-Gibran. Selain itu, sejumlah purnawirawan TNI dan Polri juga menduduki posisi komisaris di BUMN, semakin memperumit persoalan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai potensi penyalahgunaan wewenang dan sistem kekuasaan yang semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial. Pemerintah berdalih bahwa tindakan ini tidak melanggar hukum, merujuk pada Undang-Undang Kementerian Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi yang hanya melarang menteri, bukan wamen, untuk rangkap jabatan. Namun, argumen legal formal ini gagal meredam kritik etis dan moral yang berkembang di masyarakat.
Wamen, sebagai pejabat negara, seharusnya fokus membantu presiden dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan strategis. Ketika mereka juga menjabat sebagai komisaris BUMN, yang seharusnya mengawasi badan usaha negara secara independen, konflik kepentingan menjadi tak terhindarkan. Hal ini bukan hanya soal rangkap jabatan, tetapi juga konflik peran antara regulator dan entitas bisnis, yang merusak integritas tata kelola perusahaan.
Rangkap jabatan juga mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan prinsip efisiensi anggaran dan pengendalian belanja birokrasi. Masyarakat disuguhi potret elitisme baru di mana pejabat menikmati gaji ganda, jabatan ganda, dan kekuasaan ganda, sementara rakyat berjuang untuk mendapatkan satu pekerjaan.
Dampak Ketimpangan
Prinsip tata kelola yang baik (good governance) menekankan bahwa integritas hanya dapat dijaga jika kekuasaan dan penghasilan tidak ditumpuk oleh segelintir orang. Tanpa pembatasan tegas, negara justru melegalkan kesenjangan. Praktik ini mengingatkan pada pembelaan terhadap pencalonan anak presiden sebagai wakil presiden, di mana pelanggaran etika dibenarkan atas nama legalitas.
Isu rangkap jabatan ini bukan sekadar tentang 25 wamen, tetapi juga tentang praktik kekuasaan yang menyimpang, di mana jabatan menjadi instrumen balas budi dan kendaraan elite untuk mengkonsolidasikan kepentingan pribadi. Jika dibiarkan, praktik ini akan mengakar menjadi budaya kekuasaan yang permisif, di mana ketimpangan dianggap lumrah dan pemerataan hanya menjadi jargon kosong.
Indonesia, dengan populasi 280 juta jiwa, menghadapi ketimpangan ekonomi yang mencolok. Data BPS menunjukkan bahwa 40 persen kelompok terbawah hanya menguasai sebagian kecil pengeluaran nasional. Rasio gini juga meningkat, menandakan ketimpangan pengeluaran yang semakin lebar. Laporan UBS menunjukkan bahwa indeks Wealth Gini Indonesia sangat tinggi, dengan 1 persen kelompok terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional.
Kesenjangan ini bukan hanya angka ekonomi, tetapi juga cerminan dari politik distribusi yang gagal dan sistem tata kelola yang timpang. Akses terhadap pekerjaan yang layak juga sangat terbatas. Laporan IMF menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia cukup tinggi di Asia. Tantangan yang lebih besar terletak pada sektor informal, yang menyerap sebagian besar tenaga kerja Indonesia dengan kondisi kerja yang tidak pasti dan upah yang tidak layak.
Praktik "orang dalam" (ordal) dan nepotisme telah menjadi norma dalam proses rekrutmen, membuat pekerjaan menjadi kemewahan yang sulit diakses tanpa koneksi atau privilege. Ironisnya, budaya ini dipertontonkan oleh kekuasaan sendiri. Pemerintah justru memberikan pembenaran atas praktik rangkap jabatan, seolah-olah tidak ada masalah.
Negara ini secara perlahan membiasakan rakyat untuk menerima ketidakadilan sebagai kewajaran, mengajarkan bahwa keistimewaan hanya milik mereka yang dekat dengan kekuasaan. Akibatnya, jurang sosial semakin menganga. Buruh lokal digaji murah, sementara ekspatriat digaji tinggi. Pejabat politik hidup dalam kemewahan, mengoleksi jabatan, dan menggenggam sistem yang mereka atur sendiri.
Krisis Keteladanan
Ketika kekuasaan tidak lagi tahu batas, keadilan hanya akan menjadi ilusi. Negeri ini mengalami krisis keteladanan. Di tengah rakyat yang berjuang untuk mendapatkan satu pekerjaan, pejabat publik justru mengumpulkan dua gaji dan dua kekuasaan atas satu kursi. Ini bukan hanya ironi, tetapi juga pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial yang tertuang dalam Pancasila.
Oligarki di negeri ini tampil tanpa malu, mengelola kekuasaan seolah republik ini adalah milik mereka. Rakyat diposisikan sebagai penerima kebaikan, bukan pemilik kedaulatan. Demokrasi dijalankan dengan wajah feodal, di mana elite politik menjadi pewaris takhta, bukan pelayan publik.
Harapan untuk pemberantasan ketimpangan dari pemerintah yang justru merawat ketimpangan itu sendiri tampaknya hanya menjadi mimpi. Sudah waktunya ada langkah korektif dari rakyat, termasuk revisi Undang-Undang Kementerian Negara agar larangan rangkap jabatan juga mencakup wakil menteri. Fungsi komisaris BUMN harus ditata ulang, bukan lagi sebagai hadiah politik, melainkan sebagai posisi profesional yang diisi berdasarkan kompetensi. Sistem audit etik dan transparansi penuh atas pejabat yang memegang lebih dari satu jabatan publik harus diterapkan.
Demokrasi sejati lahir dari kepercayaan, bukan dari kemewahan segelintir elite. Keberanian rakyat menggugat ketimpangan di puncak kekuasaan akan membuka jalan bagi keadilan yang lebih luas di seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah harus memulai dari dalam, menertibkan dirinya sendiri. Negeri ini membutuhkan negarawan yang jernih, bersih, dan mengabdi tanpa pamrih, bukan pejabat yang sibuk menumpuk posisi.