Warisan Bung Karno: Antara Idealisme Marhaenisme dan Cengkeraman Korporatokrasi di Tanah Air

Mengenang Bung Karno di Tengah Pusaran Eksploitasi Sumber Daya Alam

Setiap tahun, bangsa Indonesia memperingati wafatnya Bung Karno, proklamator kemerdekaan yang visinya tentang kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa terus relevan. Pidatonya yang menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam oleh bangsa sendiri menggema di tengah berbagai persoalan aktual, mulai dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan hingga praktik korupsi yang merugikan negara.

Sorotan tajam tertuju pada izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, sebuah wilayah yang dikenal sebagai "Surga Terakhir di Bumi." Meskipun beberapa IUP telah dicabut oleh pemerintah, keberadaan PT GAG Nikel masih menjadi perhatian. Raja Ampat, dengan keindahan alamnya yang memukau dan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa, kini terancam oleh aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak ekosistem yang rapuh.

Di sisi lain, kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang melibatkan sejumlah korporasi besar, seperti Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, membuka mata publik terhadap praktik korporatokrasi yang merajalela. Penyitaan uang senilai triliunan rupiah oleh Kejaksaan Agung menunjukkan betapa masifnya kerugian negara akibat praktik-praktik ilegal yang dilakukan oleh korporasi.

Korporatokrasi: Perselingkuhan Kekuatan Kapital dan Politik

Korporatokrasi, sebuah sistem di mana korporasi besar, lembaga keuangan, dan pemerintah bersatu untuk memaksakan kehendak mereka kepada masyarakat, menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan ekonomi bangsa. Perselingkuhan antara kekuatan kapital dan politik ini beroperasi pada tingkat kebijakan, seringkali mengatasnamakan kepentingan negara, namun pada kenyataannya hanya menguntungkan segelintir elite.

Praktik korporatokrasi menyasar berbagai sektor strategis, seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, perkebunan, perbankan, perdagangan, dan kesehatan. Dengan mengendalikan kebijakan dan regulasi, korporasi dapat melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia secara legal, merugikan rakyat dan merusak lingkungan.

Sejarah mencatat bahwa bibit korporatokrasi telah tertanam sejak zaman kolonial, di mana kolaborasi antara korporasi dan pemerintah kolonial menyebabkan penindasan dan kemiskinan bagi rakyat jajahan. Bung Karno, melalui ajaran Marhaenisme, menentang ketidakadilan ini dan memperjuangkan kemandirian ekonomi bagi rakyat Indonesia.

Namun, korporatokrasi justru semakin menggurita pada era Orde Baru dan Reformasi, di mana kebijakan "pintu terbuka" membuka lebar-lebar peluang bagi investasi asing dan dominasi kapitalisme global. Pemerintah, yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat, justru tunduk pada kepentingan ekonomi korporasi, sehingga menyebabkan eksploitasi sumber daya alam dan manusia semakin tak terkendali.

Eko-Marhaenisme: Solusi untuk Menyelamatkan Indonesia

Untuk menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman korporatokrasi, diperlukan aksi nyata yang berlandaskan pada semangat nasionalisme dan keadilan sosial. Pengelolaan kekayaan alam harus dilakukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk segelintir elite di dalam dan luar negeri.

Para penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang sejarah Indonesia dan nilai-nilai nasionalisme yang berkeadilan sosial. Mereka harus berani melawan praktik korporatokrasi yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.

Gagasan "eko-marhaenisme" yang dipromosikan oleh Prof. Arief Hidayat menawarkan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya alam. Eko-marhaenisme adalah perpaduan antara semangat Marhaenisme dan prinsip ekologi yang berkelanjutan, di mana keadilan sosial dan perlindungan lingkungan menjadi landasan utama.

Perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan sosial (demokrasi ekonomi) yang berkelanjutan. Demokrasi Indonesia harus pula menjamin kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, bukan demokrasi yang hanya menjamin hak politik warga negara. Prinsip-prinsip ekologis dipandang relevan dan memperkuat teori marhaenisme untuk menyelamatkan Indonesia.

Namun, gagasan eko-marhaenisme tak cukup diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Tak kalah penting dari bunyi pasal-pasal adalah semangat dan moralitas penyelenggara negara atau pemimpin pemerintahan. Tanpa semangat dan pijakan moral yang kuat, pasal-pasal yang pro-rakyat pun akan disiasati. Selamatkan Indonesia, sekarang juga!