Bangkit dari Kanker Darah: Transformasi Michelle Menjadi Psikolog Inspiratif
Di balik senyum hangat seorang psikolog, tersembunyi sebuah kisah perjuangan panjang seorang wanita muda bernama Michelle Theodora. Di usia 25 tahun, Michelle, seorang penyintas kanker darah, kini mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain mengatasi masalah kesehatan mental.
Kisah Michelle dimulai pada tahun 2011, saat ia masih seorang gadis kecil berusia 11 tahun. Awalnya, ia merasakan kelelahan yang luar biasa dan nyeri tulang yang tak tertahankan. Gejala-gejala ini awalnya dianggap sebagai efek samping dari aktivitas belajar yang padat. Namun, suatu hari, saat bermain dengan teman-temannya di sekolah, Michelle tiba-tiba terjatuh. Insiden ini menjadi titik balik dalam hidupnya.
"Waktu itu lagi main sama teman, mungkin daya tahan tubuh lagi kurang baik, terus aku jatuh kayak kedorong, padahal nggak. Aku jatuh, terus kaki dan tangan aku bengkak," kenang Michelle.
Sejak saat itu, Michelle tidak bisa berjalan dan kesulitan berbaring. Keluarga membawanya ke rumah sakit, di mana ia didiagnosis menderita kanker darah atau Acute Lymphocytic Leukemia (ALL).
"Kondisi aku saat itu nggak bisa jalan, nggak bisa baring, nggak bisa duduk juga. Jadi kalau baring itu aku susah napas. Kalau duduk juga nggak bisa kalau tanpa sandaran," jelasnya.
Menurut Michelle, leukemia yang dideritanya bersifat akut dan memerlukan pengobatan intensif selama kurang lebih 2 tahun. Namun, proses perawatannya diperpanjang menjadi 4 tahun karena ia mengalami relaps atau kekambuhan pada tahun 2013. Perawatan awal dilakukan di Jakarta, sedangkan perawatan lanjutan setelah relaps dilakukan di Singapura.
Saat pertama kali didiagnosis pada tahun 2011, Michelle mengakui bahwa ia kesulitan menerima kenyataan. Terlebih lagi, pada saat itu usianya masih sangat muda, sehingga sulit untuk memahami dan memproses kondisi medis yang dialaminya. Namun, berkat dukungan besar dari keluarga dan keyakinannya pada Tuhan, ia berhasil melewati masa-masa sulit tersebut.
"Setiap hari mami aku berusaha membalikkan aku ke Tuhan. Jadi setiap hari tuh mamiku ajak aku doa lagi, ajar aku berharap, dengan baca firman-firman Tuhan," ujarnya.
"Akhirnya waktu itu, ada di satu titik, di mana aku sadar bahwa, dengan terus bertanya kenapa, terus marah-marah sama Tuhan, itu nggak membuat keadaan aku lebih baik, bahkan makin terpuruk. Makanya aku belajar, aku nggak mau peduli kenapa aku sakit, saat itulah aku fokus, mikirin apa yang bisa kulakukan di tengah proses," lanjutnya.
Pada tahun 2015, setelah menjalani lebih dari 100 kali kemoterapi dan 12 kali radiasi, Michelle dinyatakan bersih dari kanker. Perjuangan panjangnya membuahkan hasil.
Setelah sembuh, Michelle tidak pernah menyangka akan menjadi seorang psikolog. Antara tahun 2012 dan 2017, ia sering berbagi kisah perjuangannya melawan kanker di berbagai komunitas dan gereja. Tanpa disadari, ia mulai menyukai kegiatan ini. Ia melihat bagaimana kisahnya dapat menginspirasi dan memberikan semangat kepada orang lain yang sedang mengalami masalah.
Saat berdoa, Michelle menemukan bahwa psikologi adalah bidang studi yang ingin ia tekuni. Ia berharap, dengan ilmu ini, ia dapat membantu lebih banyak orang yang membutuhkan bantuan.
"Dari berdoa, aku disadarkan aku punya passion di situ. Yaudah dari situ, aku ambil psikologi dan aku juga berharap nggak cuma bisa menolong mereka dari sisi spiritual, tapi juga bisa secara psikologis, secara sains untuk orang-orang yang membutuhkan," tuturnya.
Michelle menyelesaikan pendidikannya di Universitas Tarumanegara Jakarta selama 6,5 tahun dan pada tahun 2025 resmi menjadi seorang psikolog. Kini, ia membuka praktik psikologi dan aktif membagikan konten seputar kesehatan mental di akun media sosialnya, @MichelleTheodoraa. Melalui media sosial, ia berharap dapat menjadi teman bagi siapa pun yang sedang berjuang.
Ia juga membuka sesi mentoring gratis setiap hari Sabtu bagi mereka yang mengalami keterbatasan finansial, akses, atau belum berani untuk datang ke psikolog.