Raja Ampat: Ketika Eksploitasi Alam Menabrak Kosmologi Lokal

markdown

Raja Ampat: Ketika Eksploitasi Alam Menabrak Kosmologi Lokal

Keindahan Raja Ampat yang tersohor, dengan gugusan pulau eksotis, terumbu karang berwarna-warni, dan air laut sebening kristal, menyimpan cerita yang lebih dalam dari sekadar pemandangan. Di balik pesona itu, tersembunyi narasi tentang kekuasaan, perlawanan, dan pertemuan antara tradisi lokal dengan kekuatan eksternal seperti pengaruh Islam dan kolonialisme.

Raja Ampat, yang secara harfiah berarti "Empat Raja", merujuk pada empat kerajaan utama di wilayah tersebut: Waigeo, Salawati, Misool, dan Batanta. Masyarakat setempat memegang teguh mitos tentang asal mula Raja Ampat, yang berawal dari seorang wanita yang menemukan tujuh telur. Empat dari telur tersebut menetas menjadi laki-laki yang kemudian menjadi raja di keempat kerajaan tersebut. Tiga telur lainnya berubah menjadi batu dan makhluk gaib.

Mitos ini, yang masih diceritakan secara turun-temurun oleh para tetua adat di kampung-kampung seperti Wawiyai di Waigeo, mengandung makna kosmologis yang dalam. Telur-telur tersebut ditemukan di hutan dekat sungai, melambangkan alam rahim sebagai pusat kehidupan. Ini sejalan dengan konsep axis mundi, yang menghubungkan manusia dengan alam ilahi. Mitos ini menekankan bahwa alam adalah ibu, dan tatanan sosial serta ekologi berasal dari rahmat semesta, bukan dari dominasi manusia.

Tabrakan Nilai: Eksploitasi vs. Kosmologi

Eksploitasi sumber daya alam melalui penambangan atau reklamasi bukan hanya dilihat sebagai perusakan lingkungan, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap tatanan kosmos dan sejarah asal-usul masyarakat Raja Ampat. Hal ini sesuai dengan konsep "ecological cosmology", di mana identitas kolektif terikat erat dengan lanskap alam.

Sayangnya, seringkali kosmos diabaikan dalam rangkaian ekologi yang seharusnya dijaga dan dirawat melalui mitologi yang diyakini masyarakat. Mitos bukan hanya cerita, tetapi juga cerminan cara masyarakat Papua memahami asal-usul kekuasaan sebagai bagian dari tatanan sakral dan ekologis. Alam dianggap sebagai entitas sakral, bukan sekadar objek eksploitasi. Hubungan antara manusia dan alam bersifat timbal balik, di mana manusia harus menjaga alam untuk menciptakan harmoni dengan dunia roh. Pengetahuan lokal ini dianggap sebagai warisan kosmik, dan mitologi serta ritual menjadi cara untuk menjelaskan dan menjaga keseimbangan ekologis tersebut.

Jika penambangan dipaksakan di wilayah yang dijaga masyarakat berdasarkan pemahaman mitologis mereka, maka mereka merasa tercerabut dari hukum adat, yang merupakan bagian dari sistem hukum tidak tertulis. Tindakan rekonstruksi paksa dapat dianggap sebagai pelanggaran kesakralan dan tata adat.

Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) mengingatkan bahwa penyalahgunaan pengetahuan tradisional atau ekspresi folklor, termasuk mitos, tanpa persetujuan yang diinformasikan sebelumnya, dapat dianggap sebagai perampasan budaya atau pencurian intelektual. Oleh karena itu, jika mitos Raja Ampat digunakan sebagai branding pariwisata tanpa izin, atau jika penambangan dilakukan tanpa memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, komunitas dapat menuntut secara hukum.

Tanggung Jawab Ekologis dan Sosial

Alasan bahwa operasi pertambangan berada di luar kawasan geopark Raja Ampat, meskipun mungkin benar secara administratif, tidak menghapuskan tanggung jawab ekologis dan sosial yang lebih luas. Raja Ampat bukan hanya kawasan administratif, tetapi juga ruang hidup ekologis masyarakat adat Papua yang terhubung secara spiritual yang mereka jaga melalui hukum adat dan mitologi turun temurun.

Dampak pertambangan, bahkan jika secara teknis berada di luar geopark, tetap dapat mencemari perairan, merusak ekosistem, dan memicu konflik sosial. Oleh karena itu, perlu dilakukan audit independen dengan partisipasi masyarakat adat untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara ekologis dan etis.

Arus laut yang membawa sedimentasi dari wilayah tambang ke perairan suci dapat dianggap sebagai "penyusupan bencana" ke dalam alam yang suci. Dalam kerangka mitologi, air yang tercemar berarti "ritus kosmologis yang terputus", yang bukan hanya kerugian ekologis, tetapi juga pelanggaran spiritual terhadap tatanan hidup. Perlindungan lingkungan bukan hanya urusan teknis, tetapi bagian dari etika budaya yang menghormati leluhur dan menjaga dunia dalam harmoni.

Negara seharusnya bertindak sebagai penengah yang arif, mendengarkan suara masyarakat adat, merangkul mitologi sebagai sumber pengetahuan ekologis, dan tidak memaksakan modernitas yang memutus jalinan spiritual antara manusia dan alam. Kegagalan memahami hal ini dapat menjadi pengkhianatan terhadap warisan kosmologis Nusantara yang menopang daya hidup ekologis kita. Mitos bukan hanya dongeng, tetapi peta makna yang membantu komunitas memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya.