Rekonstruksi Narasi Kebangsaan: Mengintegrasikan Nilai Pancasila dalam Penulisan Sejarah Indonesia
Urgensi Landasan Moral dalam Penulisan Sejarah Indonesia
Sejarah sebuah bangsa bukan sekadar rentetan peristiwa masa lalu, melainkan juga fondasi identitas dan cerminan nilai-nilai yang dianut. Narasi sejarah kebangsaan Indonesia memiliki peran krusial dalam membentuk pemahaman diri sebagai sebuah bangsa. Namun, penulisan sejarah seringkali rentan terhadap kepentingan kekuasaan dan bias subjektif. Oleh karena itu, diperlukan landasan etika yang kuat agar narasi sejarah tidak terdistorsi menjadi alat propaganda atau hegemoni.
Filsafat moral Pancasila menawarkan kerangka normatif yang kokoh untuk membangun narasi sejarah yang inklusif, humanis, dan adil. Pancasila, sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa, mengandung nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran yang relevan sebagai acuan moral dalam praktik historiografi. Dengan demikian, penulisan sejarah yang berlandaskan Pancasila seharusnya menghindari bias kekuasaan dan memberikan ruang bagi narasi alternatif dari kelompok-kelompok marginal, seperti perempuan, masyarakat adat, dan komunitas minoritas.
Tantangan dan Peluang di Era Digital
Namun, mewujudkan penulisan sejarah yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila bukanlah tanpa tantangan. Warisan historiografi masa lalu yang masih berpusat pada elite politik dan militer, serta kecenderungan narasi yang sentralistis, menjadi hambatan yang signifikan. Selain itu, revolusi digital telah mengubah lanskap produksi dan konsumsi sejarah. Akses terbuka terhadap arsip, kemunculan sejarah digital, serta partisipasi masyarakat dalam membentuk narasi sejarah melalui media sosial menuntut pendekatan yang lebih kritis, reflektif, dan etis.
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai moral Pancasila dapat menjadi fondasi filosofis dalam penulisan sejarah kebangsaan Indonesia yang lebih demokratis dan memanusiakan. Dengan menyoroti keterkaitan antara etika historis, narasi inklusif, dan tantangan era digital, diharapkan dapat mendorong pembaruan historiografi kebangsaan Indonesia yang lebih berpihak pada nilai-nilai Pancasila dan kemanusiaan universal.
Mengapa Objektivitas Mutlak dalam Sejarah adalah Ilusi?
Seringkali muncul anggapan bahwa penulisan sejarah haruslah objektif, bebas dari kepentingan apapun, dan sepenuhnya berdasarkan data. Namun, pandangan ini mengabaikan kompleksitas proses penulisan sejarah itu sendiri. Sejarah bukanlah sekadar pengumpulan fakta-fakta masa lampau, melainkan sebuah konstruksi naratif yang dipengaruhi oleh sudut pandang sejarawan, konteks sosial-politik, nilai-nilai budaya, dan kepentingan ideologis.
Hayden White, seorang teoretikus sejarah, bahkan menyatakan bahwa narasi sejarah adalah "verbal fictions," yang sebagian isinya diciptakan. Hal ini berarti bahwa meskipun berakar pada fakta, bentuk dan makna sejarah sangat tergantung pada cara penyajiannya. E.H. Carr juga berpendapat bahwa penulisan sejarah selalu melibatkan proses seleksi, interpretasi, dan artikulasi makna, yang menjadikannya tidak sepenuhnya bebas dari bias atau kepentingan. Proses seleksi, penafsiran, dan penyusunan fakta historis tak lepas dari nilai, minat, dan latar belakang sang sejarawan.
Benedetto Croce, seorang filsuf idealis, bahkan telah menyoroti bias dan pengaruh perspektif kekinian dalam penulisan sejarah sejak awal abad ke-20. Ia mengkritik ambisi untuk mencapai objektivitas absolut terhadap masa lampau, seperti yang diusung oleh sejarawan positivis Leopold von Ranke. Croce berpendapat bahwa sejarawan tidak pernah benar-benar dapat melepaskan diri dari kepentingan zamannya.
Objektivitas Prosedural dan Pentingnya Integritas Sejarawan
Meski demikian, pengakuan akan ketidakmungkinan objektivitas mutlak tidak berarti bahwa sejarah menjadi semata-mata subjektif atau fiksi. Penting untuk membedakan antara "ketidakbebasan dari nilai" dengan "ketiadaan objektivitas". Objektivitas dalam sejarah bersifat prosedural dan intersubjektif, bukan absolut. Fakta-fakta sejarah tidak berbicara dengan sendirinya; mereka dipilih, diinterpretasikan, dan disusun oleh sejarawan dalam kerangka nilai dan kepentingan zamannya.
Oleh karena itu, objektivitas harus dipahami sebagai komitmen terhadap metode ilmiah, keterbukaan terhadap kritik, dan kemampuan untuk mendukung interpretasi dengan bukti yang sah. Dalam kerangka ini, objektivitas adalah suatu ideal regulatif, bukan kondisi absolut. Sejarawan perlu menyadari posisi dan keterbatasannya, tetapi tetap menjaga integritas akademis melalui metode yang transparan, penggunaan sumber yang dapat diverifikasi, dan keterbukaan terhadap dialog interpretatif.
Landasan Nilai Moral dalam Penulisan Sejarah Kebangsaan
Penulisan sejarah kebangsaan Indonesia bukan hanya proyek akademik, melainkan juga tanggung jawab etis dalam membentuk kesadaran kolektif, memperkuat identitas nasional, serta menjembatani keberagaman. Dalam konteks ini, filsafat moral berperan penting sebagai landasan normatif dan epistemologis historiografi.
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan nilai-nilai kemanusiaan universal menjadi landasan moral yang relevan untuk membimbing praktik historiografi. Pancasila menyediakan kerangka normatif yang mendalam, di mana setiap sila memuat prinsip moral yang dapat dijadikan pedoman bagi historiografi yang jujur, adil, dan humanistik. Bhinneka Tunggal Ika mengandung prinsip moral bahwa sejarah kebangsaan Indonesia tidak boleh eksklusif atau tersentralisasi hanya pada narasi-narasi elite politik atau pusat kekuasaan. Selain itu, penulisan sejarah kebangsaan Indonesia juga harus disejajarkan dengan nilai-nilai universal dan standar etika historis global.
Dengan demikian, landasan filsafat moral dan etika dalam penulisan sejarah kebangsaan Indonesia sangat penting untuk memastikan historiografi nasional yang relevan, berintegritas, dan berkelanjutan. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, serta nilai-nilai etika universal bukan hanya menjadi fondasi normatif, tetapi juga memberikan arah transformasi menuju historiografi yang lebih demokratis, inklusif, dan reflektif.
Dalam menghadapi krisis identitas, politik memori, dan disinformasi sejarah, fondasi moral ini menjadi penopang utama dalam membangun narasi sejarah kebangsaan Indonesia yang mencerdaskan, adil, dan memanusiakan.