Pemerintah Tunda Pemberlakuan BMAD Impor Benang Sintetis dari Tiongkok: Upaya Lindungi Industri Tekstil Nasional
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menunda pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor benang filamen sintetis tertentu yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok. Keputusan ini diambil setelah melalui serangkaian pertimbangan matang, khususnya terkait kondisi dan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menjelaskan bahwa penundaan ini didasari oleh keterbatasan pasokan benang filamen sintetis di pasar domestik. Kapasitas produksi dalam negeri saat ini belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna. Banyak produsen benang filamen sintetis yang memprioritaskan penggunaan internal, sehingga ketersediaan bagi pelaku industri lainnya menjadi terbatas.
"Keputusan ini merupakan langkah strategis untuk menjaga stabilitas dan daya saing industri TPT nasional. Pemberlakuan BMAD saat ini berpotensi meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir," ujar Budi Santoso dalam keterangan persnya.
Sebelumnya, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) telah melakukan penyelidikan atas dugaan praktik dumping produk benang filamen sintetis dari Tiongkok, yang dimulai sejak 12 September 2023. Penyelidikan ini dilakukan atas permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk dan PT Indorama Synthetics Tbk. Produk yang diselidiki meliputi benang filamen sintetis tertentu dengan klasifikasi HS 5402.33.10; 5402.33.90; 5402.46.10; dan 5402.46.90 dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022. Produk ini mencakup dua jenis utama, yaitu partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY).
Pemerintah juga mempertimbangkan bahwa sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan berbagai trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023, serta BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, Tiongkok, dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022.
Selain itu, industri TPT baik di hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, termasuk pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat dan penutupan beberapa industri. Kontribusi industri TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mengalami penurunan, dari 1,3 persen pada 2019 menjadi 1,1 persen pada 2024, terutama akibat dampak pandemi COVID-19.
Keputusan penundaan BMAD ini merupakan hasil koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Perindustrian telah memberikan masukan agar pengenaan BMAD ditinjau kembali. Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan perwakilan industri terdampak juga turut menyampaikan pandangan yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini.
Pemerintah berharap, dengan penundaan pemberlakuan BMAD ini, industri TPT nasional dapat memiliki kesempatan untuk meningkatkan daya saing, memperkuat rantai pasok, dan beradaptasi dengan dinamika pasar global yang terus berubah. Langkah ini juga diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan sektor industri yang strategis bagi perekonomian Indonesia.