Evaluasi JPPI terhadap SPMB 2025: Kebijakan Jalur Domisili Dinilai Tidak Adil dan Diskriminatif

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melayangkan kritik tajam terhadap implementasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025. Sorotan utama tertuju pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 3 Tahun 2025, yang dinilai membingungkan dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam proses seleksi.

Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, mengungkapkan kekhawatiran khususnya terkait mekanisme jalur domisili pada jenjang SMA. Pasal 43 Permendikdasmen tersebut mengatur bahwa penerimaan calon siswa melalui jalur domisili akan didasarkan pada kemampuan akademik, bukan kedekatan jarak tempat tinggal ke sekolah. Hal ini dinilai bertentangan dengan esensi jalur domisili yang seharusnya memberikan prioritas kepada siswa yang berlokasi dekat dengan sekolah.

Kejanggalan dalam Permendikdasmen

Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025, khususnya pada pasal 30, menetapkan kuota minimum 30% untuk jalur domisili SMA. Namun, pasal 43 kemudian memuat ketentuan bahwa jika pendaftar jalur domisili melebihi kuota, seleksi akan dilakukan berdasarkan urutan prioritas:

  • Kemampuan akademik
  • Jarak tempat tinggal terdekat
  • Usia

Kondisi ini berbeda dengan jalur domisili jenjang SD, di mana prioritas diberikan berdasarkan usia dan kemudian jarak tempat tinggal. Sementara itu, pada jalur afirmasi, jarak tempat tinggal terdekat menjadi prioritas utama jika pendaftar melebihi daya tampung.

"Peraturan ini sangat membingungkan, bahkan bagi kami yang setiap tahun mengikuti perkembangan SPMB," ujar Ubaid. Ia menambahkan, "Bagaimana orang tua bisa memahami aturan yang sedemikian rumit?"

Jalur Domisili yang Mengutamakan Prestasi

JPPI menyoroti adanya kecenderungan di beberapa daerah, seperti Yogyakarta dan DKI Jakarta, di mana prestasi akademik menjadi faktor penentu utama dalam semua jalur penerimaan, termasuk jalur domisili, afirmasi, mutasi, dan prestasi. Akibatnya, tujuan awal dari jalur-jalur tersebut untuk memperluas akses pendidikan bagi semua kalangan justru tidak tercapai.

"Ironisnya, meskipun seorang anak tinggal dekat dengan sekolah dan berasal dari keluarga kurang mampu, mereka belum tentu lolos seleksi jika tidak memiliki prestasi akademik yang memadai," tegas Ubaid.

Sebagai contoh, Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 414 Tahun 2025 mengatur bahwa penerimaan SMP, SMA, dan SMK tahap 2 hanya dapat diikuti oleh calon siswa cadangan yang berdomisili di DKI Jakarta. Jika jumlah pendaftar melebihi daya tampung, seleksi akan dilakukan berdasarkan:

  • Total pembobotan indeks prestasi akademik
  • Urutan pilihan sekolah
  • Waktu mendaftar

Untuk SMA, seleksi dilakukan berdasarkan kemampuan akademik, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar. Jalur afirmasi prioritas kedua dan jalur mutasi SMP juga menerapkan sistem seleksi yang sama, dengan menambahkan wilayah penerimaan sebagai pertimbangan awal.

Di Yogyakarta, Keputusan Gubernur DIY Nomor 131 Tahun 2025 memberikan penghargaan berupa penambahan nilai bagi calon siswa jalur domisili (radius dan wilayah) serta jalur afirmasi yang memiliki prestasi. Nilai gabungan dihitung berdasarkan rata-rata nilai rapor (40%) dan nilai asesmen standardisasi pendidikan daerah (ASPD) (60%).

Diskriminasi dan Hak Pendidikan

JPPI menilai bahwa SPMB 2025 masih mengandung unsur diskriminatif dan belum sepenuhnya menjamin hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan. Ubaid menekankan bahwa hak pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1.

SPMB 2025 dinilai masih berkutat pada masalah klasik perebutan kursi di sekolah negeri tanpa memberikan solusi komprehensif bagi anak-anak yang tidak tertampung. Ubaid mencontohkan, daya tampung SMA negeri rata-rata hanya sekitar 30% dari total siswa lulusan SMP. Pemenuhan hak pendidikan bagi 70% siswa yang tidak tertampung harus menjadi perhatian utama agar tidak meningkatkan angka putus sekolah dan menurunkan angka partisipasi pendidikan.

"Kondisi ini membuka celah bagi praktik jual beli kursi, pungutan liar, dan manipulasi," ujar Ubaid. "Permintaan (demand) yang tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan (supply) yang memadai."

Ia menganalogikan situasi ini seperti naik bus yang sudah penuh. Pemerintah, menurutnya, terlalu fokus pada seleksi calon penumpang yang ingin naik bus, sementara mengabaikan mayoritas calon siswa yang tidak tertampung.