Inovasi Bioteknologi Tingkatkan Efisiensi Pertanian Jagung di NTB
Petani di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), merasakan dampak positif dari penggunaan bibit jagung bioteknologi. Hamzan Wazi, seorang petani setempat, mengungkapkan bahwa inovasi ini membawa efisiensi signifikan dalam praktik bertani, terutama dalam hal penggunaan herbisida, air, dan peningkatan produktivitas.
Dalam forum "The Science Behind: Food Security" yang diadakan di Jakarta, Hamzan memaparkan pengalamannya menggunakan bibit jagung bioteknologi DK95R. Salah satu keuntungan utama yang dirasakannya adalah pengurangan frekuensi penyemprotan herbisida. Jika sebelumnya ia harus menyemprot dua hingga tiga kali sebelum dan sesudah penanaman, kini cukup satu kali pada masing-masing tahap. Efisiensi ini dimungkinkan karena bibit jagung DK95R memiliki toleransi tinggi terhadap herbisida, sehingga bahan kimia tersebut lebih efektif menargetkan gulma tanpa merusak tanaman jagung. Gulma menyerap herbisida secara maksimal, menghambat pertumbuhannya dalam jangka waktu yang lebih lama.
Selain efisiensi herbisida, Hamzan juga menyoroti penghematan air yang signifikan dengan penggunaan bibit jagung bioteknologi. Hal ini sangat penting mengingat wilayah NTB sering mengalami masalah kekurangan air. Meskipun bibit ini belum sepenuhnya tahan terhadap kekeringan ekstrem, namun memiliki toleransi yang lebih baik terhadap kondisi kering dibandingkan bibit konvensional. Hamzan memberikan contoh bahwa tanaman jagungnya tetap tumbuh dengan baik meskipun tidak ada hujan selama beberapa hari.
Manfaat lain yang dirasakan Hamzan adalah pengurangan biaya produksi. Dengan efisiensi dalam penggunaan herbisida dan air, ia memperkirakan biaya produksi berkurang hampir 20 persen dalam setiap siklus tanam. Hal ini tentu saja meningkatkan keuntungan petani secara keseluruhan.
Namun, Hamzan mengakui bahwa adopsi bibit jagung bioteknologi ini tidak tanpa tantangan. Awalnya, akses terhadap benih dan informasi sangat terbatas. Banyak petani tidak mengetahui keberadaan bibit yang menguntungkan ini, dan bahkan setelah mengetahuinya, sulit untuk mendapatkannya. Untuk mengatasi masalah ini, Hamzan dan petani lainnya membentuk komunitas untuk memfasilitasi pembelian bibit dari kota-kota besar. Berkat upaya kolektif ini, akses terhadap benih kini semakin mudah.
Lebih jauh, Hamzan menyinggung soal panen yang tidak serempak, seringkali disebabkan oleh posisi lahan yang berada di antara kawasan yang belum siap panen. Akan tetapi, kualitas jagung yang terjaga memberikan keuntungan tersendiri bagi petani.
Harapannya, akan ada lebih banyak bibit bioteknologi yang dikembangkan untuk beradaptasi lebih baik terhadap kondisi kekeringan, mengingat perubahan iklim yang semakin nyata dan dampaknya terhadap sektor pertanian di Indonesia.