Gugatan Ijazah Jokowi di PN Solo: Kuasa Hukum Sebut Salah Alamat

Sidang lanjutan gugatan terkait dugaan ijazah palsu yang melibatkan Presiden Joko Widodo kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Solo pada hari Kamis, 19 Juni 2025. Sidang yang dilaksanakan secara daring ini mengagendakan pembacaan eksepsi atau tanggapan dari pihak tergugat, termasuk kuasa hukum Presiden Jokowi.

Kuasa hukum Jokowi, YB Irpan, dalam eksepsinya menyatakan bahwa PN Solo tidak memiliki kompetensi untuk mengadili perkara perdata ini. Menurutnya, pokok permasalahan gugatan lebih tepat diselesaikan melalui jalur hukum pidana atau melalui mekanisme peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Perkara dengan nomor register 99/Pdt.G/2025/PN Skt ini diselenggarakan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 7 Tahun 2022 dan Perma Nomor 1 Tahun 2019. Dalam gugatan ini, selain Joko Widodo, turut menjadi pihak tergugat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo, SMA Negeri 6 Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Sementara itu, Muhammad Taufiq, yang mengatasnamakan kelompok "Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu (TIPU UGM)", bertindak sebagai penggugat.

Irpan menjelaskan bahwa eksepsi yang diajukannya mencakup dua aspek utama, yaitu terkait dengan kewenangan absolut pengadilan dan kelayakan gugatan yang diajukan oleh penggugat. Ia berpendapat bahwa selain Presiden Jokowi, para tergugat lainnya adalah pejabat tata usaha negara sebagaimana yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Apabila terdapat dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat tata usaha negara, maka seharusnya gugatan diajukan ke PTUN, bukan ke Pengadilan Negeri. Kasus ini bukan termasuk onrechtmatige daad, melainkan onrechtmatige overheidsdaad," tegas Irpan pada hari Jumat, 20 Juni 2025.

Lebih lanjut, Irpan menyatakan bahwa gugatan ini secara langsung berkaitan dengan proses pencalonan Jokowi dalam berbagai jabatan publik, mulai dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden Republik Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, segala permasalahan yang timbul seharusnya diselesaikan melalui mekanisme pemilu yang sah.

"Jika ingin melaporkan adanya pelanggaran pemilu, seharusnya diajukan ke Bawaslu, bukan melalui gugatan di Pengadilan Negeri. Apabila ada dugaan pelanggaran etik oleh KPU, maka laporannya harus disampaikan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," jelasnya.

Selain permasalahan kompetensi pengadilan, Irpan juga menyoroti legal standing atau dasar hukum penggugat, Muhammad Taufiq. Menurutnya, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Taufiq sebagai peserta dalam pemilu yang pernah diikuti oleh Jokowi, mulai dari Pilkada Solo hingga pemilihan presiden dalam dua periode.

"Muhammad Taufiq tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan ini. Ia tidak memiliki legal standing yang jelas," imbuhnya.

Irpan juga berpendapat bahwa gugatan tersebut bersifat prematur, mengingat tuduhan mengenai ijazah palsu merupakan ranah hukum pidana. Ia menjelaskan bahwa pembuktian keaslian atau kepalsuan suatu ijazah merupakan wewenang dari hakim pidana, bukan hakim perdata.

"Untuk membuktikan apakah ijazah tersebut palsu atau tidak, itu adalah wewenang hakim pidana, bukan hakim perdata," tegas Irpan.

Selain itu, Irpan menyoroti petitum atau tuntutan dalam gugatan, di mana penggugat meminta agar SMA 6 Solo, UGM, dan KPU membuka data ijazah Jokowi. Menurutnya, hal ini tidak dapat dilakukan oleh hakim perdata, karena Pasal 163 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) menyatakan bahwa pihak yang mengajukan suatu dalil wajib membuktikannya, bukan hakim yang mencari bukti, kecuali dalam perkara yang ditangani oleh PTUN atau pengadilan pidana.