Skandal Sritex: Ketika Utang Menggunung Menindih Keadilan Buruh
Kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mencuat ke permukaan, menyeret isu moralitas hukum di balik kucuran kredit jumbo yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan buruh. Dugaan penyalahgunaan wewenang dan pengalihan dana kredit untuk kepentingan pribadi oknum petinggi perusahaan mencoreng wajah industri garmen nasional.
Skandal ini bermula dari utang besar yang menggunung, mencapai ratusan miliar rupiah. Kredit yang seharusnya menjadi stimulus bagi pertumbuhan industri, justru disinyalir menjadi lahan subur praktik korupsi dan manipulasi keuangan. Mirisnya, di tengah pusaran masalah ini, ribuan buruh Sritex menjadi korban, kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian mereka. Ironis, ketika para elite perusahaan sibuk dengan laporan keuangan dan lobi-lobi kredit, para pekerja harus menanggung dampak pahit dari ketidakberesan ini.
Akar Permasalahan dan Tanggung Jawab
Kasus Sritex bukan sekadar persoalan utang macet, melainkan cerminan dari rapuhnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia. Publik bertanya-tanya, di mana peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat kredit Sritex terus membengkak? Mengapa perlindungan sosial bagi para buruh yang terdampak PHK seolah terlupakan? Kasus ini memperlihatkan jurang pemisah yang lebar antara kekuatan modal dan keadilan sosial, di mana hukum seringkali tumpul di hadapan para pemilik kuasa.
Aristoteles pernah mengingatkan bahwa hukum seharusnya menjadi manifestasi moral, bukan sekadar kumpulan aturan. Senada dengan itu, Lon L. Fuller menekankan pentingnya moralitas internal dalam hukum, yang harus dipahami, diformalkan, dijalankan secara konsisten, dan mencerminkan kehendak bersama. Ketika moralitas hukum tergerus, maka hukum kehilangan esensinya sebagai instrumen keadilan.
Urgensi Pembenahan Sistem
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret dan terukur. Pertama, OJK harus diperkuat sebagai lembaga preventif yang proaktif, dengan mekanisme pemantauan yang ketat terhadap lonjakan kredit. Kedua, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA) harus berani menerapkan Peraturan MA (Perma) 13/2016 tentang pemidanaan korporasi, sebagai upaya memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan korporasi. Ketiga, kerangka tata kelola perbankan dan korporasi perlu didesain ulang, dengan regulasi yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga menutup celah bagi praktik pengalihan utang untuk kepentingan pribadi.
Menegakkan Keadilan Bagi Korban
Kasus Sritex menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya penegakan hukum yang adil dan berpihak pada korban. Di balik angka-angka utang dan proses hukum yang berbelit-belit, terdapat ribuan buruh yang berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan. Negara harus hadir sebagai penjamin keadilan, bukan sekadar menjadi penonton dalam drama korporasi yang merugikan rakyat kecil. Hukum harus ditegakkan bukan hanya setelah tragedi terjadi, tetapi juga sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi di masa depan. Kasus Sritex menjadi momentum untuk merefleksikan kembali peran hukum sebagai penjaga moral dan keadilan, bukan sekadar alat untuk menuntut pidana.
Fuller mengingatkan bahwa hukum yang kehilangan moralitas internalnya, kehilangan legitimasi untuk mengatur tingkah laku manusia. Dalam kondisi seperti itu, hukum lebih pantas disebut ritual daripada instrumen keadilan. Kasus Sritex membuktikan bahwa negara tidak bisa lagi menunda-nunda tindakan nyata untuk menegakkan keadilan. Negara harus melindungi norma dan martabat manusia.