Kena Dila: Tradisi Gotong Royong Berbuka Puasa di Desa Tepal, Sumbawa

Kena Dila: Tradisi Gotong Royong Berbuka Puasa di Desa Tepal, Sumbawa

Di Desa Tepal, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sebuah tradisi unik bernama "kena dila" menghidupkan semangat Ramadhan. Tradisi ini bukan sekadar berbagi makanan berbuka puasa, melainkan perwujudan gotong royong dan keakraban antarwarga yang telah berlangsung turun temurun. Sejak siang hari, para perempuan Desa Tepal, yang terletak 847 meter di atas permukaan laut pegunungan Batu Lanteh, telah sibuk mempersiapkan hidangan istimewa untuk tradisi ini. Mereka mengatur tempat makan dengan rapi, memisahkan area untuk laki-laki dan perempuan, sebuah detail yang menunjukkan penghormatan terhadap adat istiadat lokal.

Proses persiapan "kena dila" melibatkan seluruh anggota keluarga dan tetangga. Sehari sebelum giliran tiba, pemilik rumah mengunjungi tetangga perempuan untuk mengajak mereka membantu memasak. Menu yang disajikan sangat beragam, mulai dari hidangan pembuka hingga penutup. Sajian utama biasanya berupa gulai khas Desa Tepal, dengan variasi daging ayam atau sapi yang dipadukan dengan sayuran lokal seperti rebung, rotan muda (budak), nangka, dan blunak – sejenis tanaman yang tumbuh subur di daerah dingin dan lembap. Selain hidangan utama, aneka kue dan jajanan tradisional juga disiapkan dengan penuh semangat gotong royong, sebagian untuk disajikan saat berbuka dan sebagian lagi untuk dibagikan di masjid selama kegiatan tarawih dan tadarus.

Tidak hanya hidangan berbuka puasa, tradisi "kena dila" juga mencakup penyediaan makanan untuk sahur. Setelah berbuka puasa bersama, para perempuan kembali bekerja sama untuk membersihkan rumah. Kemudian, mereka mengumpulkan kue dan jajanan untuk dibawa ke masjid, menjadi berkah bagi jamaah yang mengikuti tarawih dan tadarus. Setelah shalat Tarawih, kegiatan dilanjutkan dengan persiapan sahur, menciptakan suasana hangat dan keakraban di rumah yang menjadi pusat kegiatan "kena dila" malam itu. Anak-anak muda sering berkumpul dan berdiskusi, menambah semarak tradisi ini hingga sahur selesai.

Kepala Desa Tepal, Sudirman, menjelaskan bahwa tradisi "kena dila" telah lama terpatri dalam kehidupan masyarakat. Jadwal "kena dila" ditentukan melalui rembuk atau rapat yang melibatkan ketua RW, RT, dan perangkat desa. Dalam satu malam, 10 hingga 15 rumah di satu Rukun Tetangga (RT) akan bergiliran melaksanakan tradisi ini. Sudirman menekankan bahwa "kena dila" bukan hanya mempererat silaturahmi, tetapi juga merupakan bentuk sedekah dan amal di bulan Ramadhan. Sebelum berbuka, tahlilan, dzikir, dan doa bersama dipimpin oleh tokoh agama setempat, menciptakan suasana penuh khidmat dan spiritual.

Arti kata "kena dila" sendiri berasal dari tradisi penerangan masa lampau. Dahulu, sebelum listrik tersedia, lampu jojor menjadi sumber penerangan utama. "Kena dila" berarti mendapatkan giliran cahaya lampu jojor, merepresentasikan rumah yang berkesempatan berbagi hidangan dan keramahan. Kini, meskipun listrik telah hadir, semangat berbagi dan gotong royong yang diusung "kena dila" tetap menyala terang, menerangi Desa Tepal dengan kehangatan persaudaraan dan nilai-nilai luhur Ramadhan.

Proses Tradisi Kena Dila:

  • Siang hari: Persiapan masakan dan jajanan oleh para perempuan, dibantu keluarga dan tetangga.
  • Sore hari: Mengundang keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat untuk berbuka puasa bersama.
  • Sebelum berbuka: Tahlilan, dzikir, dan doa bersama.
  • Berbuka Puasa: Menyantap hidangan bersama.
  • Setelah berbuka: Membersihkan rumah dan mempersiapkan makanan untuk dibawa ke masjid.
  • Setelah Tarawih: Menyiapkan makanan sahur.
  • Sahur: Makan sahur bersama.