Inovasi Bioteknologi Pertanian: Solusi Efisien Reduksi Emisi dan Pengamanan Lahan

markdown Inovasi bioteknologi dalam sektor pertanian menunjukkan potensi signifikan dalam mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan menyelamatkan jutaan hektar lahan. Berdasarkan penelitian global tahun 2018, aplikasi bioteknologi pada tanaman pangan mampu menurunkan emisi hingga 23 miliar kilogram CO2. Efisiensi ini didorong oleh kemampuan bioteknologi dalam meningkatkan hasil panen tanpa ekspansi lahan yang masif.

Bambang Prasetya, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa tanaman bioteknologi dapat tumbuh di lahan marginal yang sebelumnya tidak produktif. Hal ini membuka peluang pemanfaatan lahan baru sekaligus berperan sebagai penyerap karbon. Penelitian menunjukkan bahwa adopsi bioteknologi telah menyelamatkan 231 juta hektar lahan di 71 negara, menjaganya tetap menjadi kawasan hijau yang berfungsi sebagai penyerap karbon.

Dampak Positif Bioteknologi Pertanian:

  • Peningkatan Produksi: Dari tahun 1996 hingga 2018, negara-negara yang mengadopsi bioteknologi mengalami peningkatan produksi sebesar 822 juta ton, setara dengan pendapatan 221 miliar dolar AS.
  • Efisiensi Input Pertanian: Varietas tanaman bioteknologi yang tahan hama dan gulma mengurangi penggunaan pestisida dan bahan kimia hingga 776 kilogram pada periode yang sama.
  • Pengentasan Kemiskinan: Bioteknologi tanaman pangan berkontribusi pada pengentasan kemiskinan sekitar 16–17 juta orang di negara berkembang yang menjadi bagian dari penelitian.
  • Ketahanan Pangan: Bioteknologi membantu mengatasi tantangan ketahanan pangan akibat perubahan iklim, curah hujan ekstrem, kekeringan, dan serangan penyakit tanaman.

Contoh Sukses Aplikasi Bioteknologi:

  • Tebu PRG N X1 4T: Tebu ini dirancang tahan terhadap kekeringan dan telah diuji coba di Jawa Timur pada tahun 2023. Hasilnya menunjukkan bahwa tebu tetap tumbuh hijau dan segar dibandingkan dengan tebu biasa.
  • Jagung Tahan Kekeringan: Uji coba pada tahun 2020 menunjukkan bahwa jagung tahan kekeringan memiliki ukuran yang lebih besar dan biji yang utuh dibandingkan dengan jagung biasa.

Bioteknologi tanaman pangan menawarkan solusi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. Meskipun demikian, pengembangan bioteknologi membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 12–13 tahun, karena harus melalui berbagai tahap pengujian untuk memastikan keamanan bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

Inovasi bioteknologi tetap menjadi prioritas utama dalam upaya mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, mengingat manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang telah terbukti. Pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim dan efisien dalam penggunaan sumber daya menjadi kunci untuk menghadapi tantangan pertanian di masa depan.