Nasib Karyawan Sritex Pasca-Pailit: Optimisme Pemerintah Berbenturan dengan Realita Lapangan
Nasib Karyawan Sritex Pasca-Pailit: Optimisme Pemerintah Berbenturan dengan Realita Lapangan
Proses hukum terkait kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menimbulkan ketidakpastian bagi ribuan karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli yang memastikan para pekerja dapat kembali bekerja dalam waktu dua pekan pasca rapat di Istana Kepresidenan pada 3 Maret 2025, kini dipertanyakan. Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT Sritex, Widada, mengungkapkan pesimisme yang kuat terkait janji tersebut. Pernyataan optimisme pemerintah tersebut nampaknya bertolak belakang dengan kondisi di lapangan.
Widada menjelaskan bahwa proses penyelesaian aset perusahaan yang sedang dalam tahap pengawasan kurator menjadi penghalang utama bagi rencana tersebut. Kurator, menurut Widada, masih bernegosiasi dalam proses sewa-menyewa barang dan mesin produksi, tanpa memberikan kepastian kapan proses tersebut akan selesai. "Informasi 14 hari (akan dipekerjakan kembali) memang ada," ujar Widada saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (12/3/2025). "Tetapi kenyataannya, karena proses sewa-menyewa barang belum ada titik temu, kurator belum dapat menjamin karyawan dapat kembali bekerja." Pernyataan tersebut disampaikan Widada setelah bertemu langsung dengan pihak kurator. Ia menekankan bahwa hingga hari ke-12 pasca pernyataan Menaker, belum ada tanda-tanda karyawan akan kembali bekerja. Ketidakpastian ini menimbulkan kecemasan di antara ribuan karyawan yang telah kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, harapan agar dapat segera kembali bekerja masih tetap menyala di hati para karyawan eks-Sritex. "Kami ingin karyawan cepat bekerja lagi. Lebih cepat lebih baik," ungkap Widada mewakili aspirasi para pekerja. Namun, dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, para karyawan kini fokus pada pengurusan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Widada menyebutkan bahwa sekitar 1.000 mantan karyawan Sritex mengurus klaim JHT setiap harinya, dan proses ini telah berlangsung selama enam hari. Pengurusan JKP juga tengah dilakukan secara paralel. Kondisi ini menggambarkan perjuangan berat yang dihadapi para mantan karyawan dalam menghadapi situasi ekonomi yang sulit pasca PHK.
Pernyataan Menaker Yassierli yang menyebutkan apresiasi atas komitmen kurator dan jaminan pekerjaan dalam dua minggu ke depan, kini menjadi titik fokus perdebatan. Perbedaan antara pernyataan optimis pemerintah dan kenyataan di lapangan menimbulkan pertanyaan akan transparansi dan koordinasi antara pemerintah, kurator, dan pihak serikat pekerja. Kejelasan informasi dan langkah nyata untuk memastikan kesejahteraan para mantan karyawan Sritex menjadi hal yang sangat krusial dan mendesak untuk segera dituntaskan. Ke depan, perlu adanya mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel untuk memastikan agar kasus serupa tidak kembali terulang dan agar pekerja mendapatkan perlindungan yang memadai.
Kesimpulan: Pernyataan Menaker Yassierli tentang kepastian kerja karyawan Sritex dalam dua minggu patut dipertanyakan, mengingat realita di lapangan yang menunjukkan proses penyelesaian aset masih berjalan dan belum ada kepastian dari kurator.