Tumpukan Sampah Pasar Kosambi Capai Puluhan Ton, Warga Keluhkan Dampak Lingkungan

Gunungan sampah setinggi tiga meter menjadi pemandangan memprihatinkan di belakang Pasar Kosambi, Bandung. Kondisi ini telah berlangsung selama lebih dari dua bulan, menimbulkan keluhan dari warga sekitar terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Lalat hijau berkerumun di tumpukan sampah yang didominasi sampah organik basah, menghasilkan bau menyengat akibat air lindi yang mengalir di bawahnya. Soleh Ibrahim, seorang petugas pemilah sampah di lokasi tersebut, mengungkapkan bahwa volume sampah yang masuk berasal tidak hanya dari pedagang pasar, tetapi juga dari lima RW di sekitar Pasar Kosambi. "Sudah dua bulan lebih kaya gini. Yang buang sampah di sini bukan hanya dari pedagang pasar dalam dan pedagang pasar luar saja, tetapi lima RW (di sekitar Pasar Kosambi) juga buangnya ke sini," ujarnya.

Masalah utama, menurut Soleh, adalah jadwal pengangkutan sampah yang tidak teratur. Truk pengangkut tidak datang setiap hari, dan ketika datang, kapasitasnya tidak mencukupi untuk mengangkut seluruh tumpukan sampah. "Kalau ada pengangkutan cuma satu truk, paling yang diangkut cuma 9 sampai 11 ton. Sementara ini sekarang ada puluhan ton," jelasnya.

Soleh dan rekan-rekannya terus berupaya memilah sampah, mencari material anorganik seperti botol plastik dan kardus yang masih bisa dijual. Namun, mayoritas sampah adalah sampah organik dari pasar dan rumah tangga, yang seringkali dibuang dalam kantong plastik, sehingga menyulitkan proses pemilahan. Hal ini membuat pemilahan sampah menjadi lebih sulit, memperparah kondisi tumpukan sampah, dan menyebabkan permasalahan lingkungan yang semakin kompleks.

Warga sekitar Pasar Kosambi merasakan dampak langsung dari tumpukan sampah ini. Ketika hujan, air lindi yang berbau busuk meluap dan menggenangi lingkungan sekitar pasar. "Kalau hujan, ini airnya menggenang. Setelah hujan, baru baunya sampai masyarakat," kata Soleh. Kondisi ini tidak hanya mengganggu kenyamanan warga, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan.

Pihak Kecamatan Sumur Bandung mengakui adanya permasalahan ini. Camat Sumur Bandung, Wahyu Rinjaningsih, menjelaskan bahwa penumpukan sampah terjadi karena pengurangan ritase pengangkutan dari biasanya. "Kami lagi berusaha penambahan ritase pengangkutan karena biasanya tiga rit per hari menjadi satu rit per hari," tuturnya melalui pesan singkat WhatsApp.

Pemerintah setempat berjanji untuk segera mengatasi masalah ini dengan menambah frekuensi pengangkutan sampah. Namun, penanganan masalah sampah yang komprehensif memerlukan solusi jangka panjang yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh pihak, termasuk pedagang pasar, warga sekitar, dan pemerintah kota. Edukasi tentang pengelolaan sampah yang benar, pemilahan sampah dari sumber, dan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.