Bank Sentral Indonesia dan AS Ambil Langkah Konservatif Terkait Suku Bunga di Tengah Gejolak Ekonomi Global

Bank Indonesia (BI) dan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mengambil langkah serupa dengan mempertahankan suku bunga acuan mereka. Keputusan ini diambil di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus membayangi.

Para ekonom menilai bahwa langkah yang diambil oleh kedua bank sentral ini mencerminkan pendekatan yang hati-hati, sebuah upaya untuk menavigasi kompleksitas dan risiko yang melekat pada dinamika ekonomi global saat ini. BI mempertahankan BI rate pada level 5,5 persen, sementara The Fed mempertahankan Fed Funds Rate (FFR) pada kisaran 4,25-4,5 persen pada bulan Juni 2025.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), berpendapat bahwa baik The Fed maupun BI memilih untuk "bermain aman" mengingat situasi global yang penuh tantangan. Menurutnya, setiap keputusan untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga saat ini membawa risiko tersendiri.

Faisal menyoroti potensi inflasi yang disebabkan oleh perang tarif dan konflik fisik di Timur Tengah. Inflasi yang tinggi dapat memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan sebagai upaya untuk mengendalikan kenaikan harga. Namun, pengetatan moneter di tengah kondisi ekonomi yang masih rentan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berisiko melemahkan nilai tukar mata uang.

"Saat ini, otoritas moneter menghadapi tekanan dari dua sisi, yang membuat mereka sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan terkait suku bunga, baik menurunkan maupun menaikkan. Oleh karena itu, mempertahankan suku bunga adalah pilihan yang paling aman," jelas Faisal.

Senada dengan Faisal, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menyatakan bahwa keputusan The Fed mencerminkan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi. Sementara itu, keputusan BI menunjukkan kewaspadaan terhadap tantangan eksternal, terutama yang terkait dengan ketidakpastian kebijakan moneter global dan ketegangan geopolitik seperti konflik antara Israel dan Iran.

Kebijakan BI ini juga bertujuan untuk menjaga daya tarik investasi dalam negeri dengan mempertahankan selisih suku bunga yang menarik dibandingkan dengan suku bunga global, khususnya The Fed. Menurut Pardede, hal ini penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang rentan terhadap tekanan dari perubahan kebijakan moneter global.

Pardede memprediksi bahwa baik The Fed maupun BI akan terus mengambil pendekatan yang hati-hati di masa depan. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan moneter The Fed dan BI untuk memberikan stabilitas bagi ekonomi Indonesia.

Namun, Pardede mengakui bahwa tantangan akan tetap ada, terutama dalam bentuk risiko eksternal seperti ketegangan geopolitik dan dinamika perdagangan internasional yang terus berubah. Oleh karena itu, pengelolaan kebijakan moneter domestik yang hati-hati tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas makroekonomi.