Rancangan Perda KTR Jakarta Picu Kekhawatiran Industri Perhotelan dan Restoran
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta menuai respons dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Organisasi tersebut mengungkapkan kekhawatiran bahwa aturan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap kinerja industri perhotelan, restoran, dan kafe di Ibu Kota.
Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyatakan bahwa pasal-pasal dalam Raperda KTR berpotensi memperburuk kondisi yang sudah sulit bagi para pengusaha hotel dan restoran. Ia menyoroti kontribusi signifikan sektor perhotelan dan restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta, serta penyerapan tenaga kerja yang mencapai lebih dari 600.000 orang. Iwantono menekankan bahwa sebagian besar tamu hotel dan restoran adalah konsumen perokok, sehingga larangan merokok dapat berdampak luas pada bisnis mereka.
Menurut Iwantono, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebaiknya melakukan studi komparatif dengan negara-negara lain yang telah menerapkan aturan serupa, seperti Jepang dan Singapura. Di negara-negara tersebut, merokok masih diperbolehkan di area khusus yang telah ditentukan. Ia juga mengimbau agar proses penyusunan Raperda KTR dilakukan secara bertahap dan melibatkan pelaku usaha agar tidak menimbulkan kejutan dan guncangan ekonomi.
Sebelumnya, survei PHRI DKI Jakarta pada April 2025 menunjukkan bahwa 96,7 persen hotel mengalami penurunan tingkat hunian. Kondisi ini memaksa banyak pengusaha untuk mengurangi jumlah karyawan dan menerapkan strategi efisiensi.
Di sisi lain, Anggota Pansus KTR DPRD DKI Jakarta, Inad Luciawaty, juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak Raperda KTR terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Ia mengakui bahwa perlu adanya kawasan khusus merokok karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah perokok. Inad mencontohkan negara maju seperti Jepang dan Singapura yang menyediakan tempat khusus merokok di tempat-tempat umum seperti mal, restoran, dan kafe.
Inad Luciawaty juga menyoroti pasal yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan tempat pendidikan dan tempat bermain anak. Menurutnya, pasal ini akan sulit diterapkan, terutama di kawasan padat permukiman.